SISTEM PERBANKAN DAN
PERSOALAN RIBA DALAM ISLAM ;
MENUJU SISTEM PERBANKAN BEBAS RIBA
Qurratul
A’yun Nailufarh
FE UMSurabaya
Jl.Sutorejo 59 Telp.031-3811966 Surabaya 30285
E-mail : qan_ailufarh@yahoo.com
Abstrak
Banking is a financial institution
which helps the course of the economy of the community and the state to keep it
running, and walking along the national banking, Islamic banking presence
brings a fresh breeze for the existence of a national banking center where
people will face problems of high interest rates. However, society is faced
again on the issue of usury and bank interest which is always debatable. For
that, in this case will be discussed about the difference between interest and
usury itself in the eyes of Islam, so that people can understand how the
Islamic banking system that exists today, then next will be discussed on
Islamic banking and Economic Problems in the community associated with the
presence of conventional banking and Islamic banking is growing rapidly in the
midst of society, so that later we bisamengetahui how a banking system is run
in accordance with the conditions and the existence of an optimum in the
development of today's economy both in terms of principles and Islamic banking
products, including flowers, riba and Our Communities.
Keyword : Perbankan, Islam, Riba.
Pendahuluan
Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga
fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa
pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin. Fungsi-fungsi
bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut adalah
menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan
bisnis, serta melakukan pengiriman uang.
Dalam islam, uang dipandang sebagai alat tukar, bukan
suatu komoditi. Diterimanya peranan uang bertujuan untuk melenyapkan ketidakadilan,
ketidakjujuran, dan sistem tukar menukar dalam kegiatan ekonomi atau yang biasa
disebut dengan barter. Barter dalam kegiatan ekonomi islam sudah tergolong
sebagai Riba Fadl, yang dilarang dalam agama, sedangkan peranan uang
sebagai alat tukar dibenarkan (Mannan, Abdul, 1997; 162). Oleh karena itu,
perlu adanya sikap kehati–hatian dalam suatu akad atau transaksi, terutama yang
berkaitan dengan jual beli, karena sistem yang berkaitan dengan unsur riba bisa
saja terjadi.
Ada keyakinan dikalangan umat Islam bahwa bank syariah
tidak menjalankan sistem ribawi. Selain karena berpedoman pada tata cara
syariah Islam, bank syariah juga dianggap tidak memberikan bunga, tapi bagi
hasil. Hal ini berbeda dengan bank konvensional pada umumnya. Apalagi diperkuat
oleh fatwa MUI yang mengatakan bahwa bunga bank adalah riba, bank syariah
mungkin bebas dari sistem bunga, tapi hampir mustahil terbebas dari sistem
ribawi. Untuk itu kita perlu memahami
dengan benar tentang konsep riba dan keberadaannya dalam sistem perbankan, baik
dalam sistem perbankan konvensional maupun perbankan syariah, bagaimana
dengan keberadaan Perbankan Syariah itu sendiri, untuk itu kita juga perlu
mengetahui Prinsip dan Produk perbankan syariah yang bebas dari unsur riba,
serta bagaimana tentang konsep bunga dalam perbankan dan lembaga keuangan lain
yang telah dikenal dimasyarakat kita selama ini.
Kajian Teoritis
Riba, Bunga, dan Islam
Riba, menurut
pengertian bahasa berarti tambahan (az-ziyadah), berkembang (an-numuw),
meningkat (al-irtifa’), dan membesar (al-uluw). Diriwayatkan oleh al-Bukhari dengan redaksi
dan riwayat lain, muslim dan ahmad, dari hadis ibnu abbas. Mereka semua
menambahkan perkataan ibnu abbas. “Aku tidak tahu apakah keterangan itu berasal
dari al-Qur’an atau tidak” Dengan kata lain, riba adalah penambahan,
pengembangan, peningkatan dan pembesaran atas pinjaman pokok yang diterima oleh
pemberi pinjaman dari peminjam sebagai imbalan karena menangguhkan atau
berpisah dari sebagian modalnya selama periode waktu tertentu. Imam Taqiyuddin,
Abu Bakar al-Husaini mengatakan riba menurut syara’ berarti tambahan pada emas,
perak, beberapa makanan. (Lihat al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini (1997),
Khifayatul Akhyar, Bina Ilmu Surabaya, h.17)
Secara
garis besar riba dikelompokkan menjadi dua. Masing-masing adalah riba
hutang-piutang dan riba jual-beli. Kelompok pertama terbagi lagi menjadi riba
qardh dan riba jahiliyyah. Sedangkan kelompok kedua, riba jual-beli,
terbagi menjadi riba fadhl dan riba nasi’ah.
1.
Riba Qardh, yaitu suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang
disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh)
2.
Riba Jahiliyyah, yaitu hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan.
3.
Riba Fadhl, yaitu pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau
takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam
jenis barang ribawi.
4.
Riba Nasi’ah, yaitu penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang
ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah
muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan
saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
Mengenai
pembagian dan jenis-jenis riba, berkata Ibnu Hajar al Haitsami:
“Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba-Fadl, riba al-Yaad, dan riba an-Nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al-Qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al Qur’an dan hadits Nabi.”
“Bahwa riba itu terdiri dari tiga jenis, yaitu riba-Fadl, riba al-Yaad, dan riba an-Nasiah. Al mutawally menambahkan jenis keempat yaitu riba al-Qard. Beliau juga menyatakan bahwa semua jenis ini diharamkan secara ijma’ berdasarkan nash al Qur’an dan hadits Nabi.”
Al-Qur’an
dan Sunnah, dua sumber pokok hukum islam melarang keras adanya bunga karena
kezalimannya, akan tetapi ada yang berpendapat bahwa bunga yang dibayarkan pada
saat investasi dalam kegiatan produksi tidak bertentangan dengan hukum
Al-Qur’an karena hukum tersebut hanya mengacu kepada Riba, yaitu
pinjaman yang bukan untuk produksi dimasa pra Islam. Pada masa pra Islam, orang tidak mengenal pinjaman produksi dan pengaruhnya
pada perkembangan ekonomi. Dalam hal ini mereka yang mengajukan teori bunag
tampaknya mengabaikan Al-Qur’an yang merupakan pedoman hidup bagi manusia.
Menyebut Riba dengan nama bunga tidak akan mengubah
sifatnya, karena bunga adalah suatu tambahan modal yang dipinjam, karena itu
hal tersebut tetaplah Riba. Dalam ekonomi kapitalis, bunga adalah pusat
berputarnya sistem perbankan, berdasarkan prinsip dari perbankan konvensional,
tanpa bunga sistem perekonomian akan lumpuh. Sedangkan islam mempunyai kekuatan
yang sangat dinamis dalam menjalankan sistem perbankan dan lembaga keuangan
lain tanpa harus menjalankan sistem bunga.. karena suku bunga yang berlaku
dalam perbankan konvensional tidak ada hubungan dengan pengaruh volume
menabung. Evolusi konsep riba ke bunga tidak terlepas dari perkembangan lembaga
keuangan. Lembaga keuangan timbul karena kebutuhan modal untuk membiayai
industri dan perdagangan, modalnya berasal dari kaum pedagang (shahibul maal).
Kecenderungan masyarakat menggunakan sistem bunga (interest ataupun unsury)
lebih bertujuan untuk mengoptimalkan pemenuhan kepentingan pribadi, sehingga
kurang mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkannya (IBI,
(2001:.37) [i]Berbeda dengan sistem bagi hasil (profit-sharing), sistem ini
berorientasi pada pemenuhan kemaslahatan hidup umat manusia.
Pembahasan
Perbankan Syariah dan Masalah Ekonomi
Pada umumnya yang dimaksud dengan bank syariah adalah
lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam
lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi disesuaikan dengan
prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini kegiatan dan usaha bank akan selalu
berkaitan dengan komoditas (Tim redaksi 1994; 194), yang kegiatan usahanya
antara lain:
1. Pemindahan uang
2. Menerima dan membayar kembali uang dalam rekening Koran
3. Mendiskonto surat wesel, surat order maupun surat
berharga lainnya,
4. Membeli dan menjual
surat-surat berharga
5. Memberi kredit, dan
6. Memberi pinjaman
kredit
Perbankan
syariah dapat diterima oleh semua masyarakat keuangan internasional, bukan
hanya yang beragama Islam, dan terus tumbuh dengan signifikan dari tahun ke
tahun. Hal ini disebabkan nilai-nilai dalam operasional bank syariah terus
berorientasi kepada etika bisnis yang sehat dan juga menawarkan jasa-jasa yang
jauh lebih banyak daripada perbankan konvensional. Perbankan syariah dapat
menawarkan jasa-jasa lebih dari yang ditawarkan oleh investment banking,
karena jasa-jasa bank syariah merupakan suatu kombinasi yang dapat diberikan
oleh commercial bank, finance company, dan merchant bank.
Perbankan syariah berlaku untuk semua orang atau
Universal. Syariah
itu sendiri hanyalah sebuah prinsip atau sistem yang sesuai dengan aturan atau
ajaran Islam. Siapa saja dapat memanfaatkan jasa keuangan bank syariah. Ketika
krisis moneter melanda Indonesia
sistem syariah telah memberikan manfaat bagi banyak kalangan, pada saat krisis
yang terjadi pada tahun 1997, suku bunga pinjaman melambung tinggi hingga
puluhan persen. Akibatnya, banyak dari kalangan usaha yang tidak mampu
membayar. Akan tetapi, fenomena ini tidak berlaku bagi pelaku usaha yang
menggunakan dana dari bank syariah. Para pengusaha
tersebut tidak perlu membayar bunga sampai puluhan persen, mereka cukup berbagi
hasil dengan bank syariah. Penentuan persentasi bagi hasil dilakukan di awal
pengambilan pinjaman.
Hal
yang menjadikan suku bunga pinjaman saat itu melambung yang diterapkan oleh
perbankan koknvensional karena menjadikan uang sebagai komoditas, sehingga
keberadaan uang saat ini lebih banyak diperdagangkan daripada digunakan sebagai
alat tukar dalam perdagangan. Lembaga perbankan
konvensional juga menjadikan uang sebagai komoditas dalam proses pemberian
kredit. Instrumen yang digunakan adalah bunga (interest). Uang yang
memakai instrumen bunga telah menjadi lahan spekulasi empuk bagi banyak orang
di muka bumi ini. Kesalahan konsepsi itu berakibat fatal terhadap krisis hebat
dalam perekonomian sepanjang sejarah, khususnya sejak awal abad 20 sampai
sekarang. Ekonomi berbagai negara di belahan bumi ini tidak pernah lepas dari
terpaan krisis dan ancaman krisis berikutnya pasti akan terjadi lagi. Seperti
yang telah dijelaskan diawal, bahwa dalam menjalankan sistem perbankan syariah,
terutama dalam peneglolaan uang, motif yang digunakan dalam permintaan akan
uang—dalam Islam—adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi (money demand for
transaction). Dalam konsep Islam, tidak dikenal money demand for
speculation, karena spekulasi tidak diperkenankan. Lain halnya dengan
sistem konvensional yang tentunya membuka peluang lebar-lebar dengan kebolehan
dalam memberikan bunga atas harta. Islam malah menjadikan uang (harta) sebagai
objek zakat, uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang dibawah bantal
atau dibiarkan tidak produktif dilarang, karena hal itu mengurangi jumlah uang
yang beredar dimasyarakat.
Pada perbankan konvensional, sistem operasi yang
diterapkan telah ditetapkan atas dasar kemampuan menghimpun dana masyarakat
melalui pelayanan dan sistem bunga yang menarik. Suatu tingkat bunga simpanan
akan dikatakan menarik apabila:
1. Lebih tinggi dari tingkat inflasi, karena pada tingkat bunga yang lebih
rendah,dana yang disimpan nilainya akan habis dikikis oleh inflasi.
2. Lebih tinggi dari tingkat bunga riil diluar negeri karena pada tingkat
bunga yang lebih rendah dengan dianutnya sistem devisa bebas, dana-dana besar
akan lebih menguntungkan untuk diinvestasikan di luar negeri (Muhammad, 1983; 58).
3. Lebih bersaing di dalam negeri, karena penyimpan dana akan lebih memilih
bank yang paling tinggi menwarkan tingkat bunga simpanannya dan memberikan
berbagai macam bonus dan hadiah.
Kemudian pada sisi penyaluran dana tingkat bunga simpanan
ditambah dengan persentase tertentu untuk spread yang terdiri dari:
biaya operasional, cadangan kredit macet, cadangan kredit, dan profit margin
yang dibebankan kepada peminjam dana. Artinya peminjam danalah yang sebenarnya
membayar bunga simpanan dan spread bagi bank tersebut.
Berikut dapat
dijelaskan dalam tabel, perbedaan antara bunga dan bagi hasil (Syafi’I Antonio,
2004; 61), yaitu:
Bunga
|
Bagi Hasil
|
||
a
|
Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
|
a
|
Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan
berpedoman pada kemungkinan untung rugi.
|
b
|
Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
|
b
|
Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang
diperoleh
|
c
|
Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah
proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi
|
c
|
Bagi hasil bergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha
merugi, kerugian akan ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.
|
d
|
Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan
berlipat atau keadaan ekonomi sedang ”Booming”.
|
d
|
Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah
pendapatan.
|
e
|
Eksistansi bunga diragukan oleh agama, teruatama agama islam
|
e
|
Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil.
|
Dalam hal tersebut jelas terlihat dalam sistem keuangan
yang dijalankan antara perbankan konvensional dan perbankan syariah, dan secara
makro, praktek menggunakan sistem bunga yang juga merupakan bagian dari sistem
ekonomi, tentu saja memberikan situasi yang dilematis dan kontradiktif bagi pemerintah. Dilematis, pemerintah
dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama diperlukan, yaitu pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, atau kestabilan ekonomi. Untuk mengacu pada kegiatan
ekonomi, biasanya diperlukan kebijakan uang longgar dengan menambah pasokan
kredit perbankan melonggarkan pasokan investasi asing dan pinjaman luar negeri
tetapi dapat mengakibatkan bertambahnya jumlah uang yang beredar sehingga dapat
menaikkan tingkat inflasi. Untuk mengendalikan tingkat inflasi tersebut,
biasanya diperlukan kebijakan uang ketat untuk mengurangi pasokan kredit
perbankan akan tetapi dapat mengakibatkan lesunya kegiatan ekonomi. Selanjutnya
kontradiktif, karena pada upaya pemerintah untuk mengendalikan inflasi dengan
kebijakan uang ketat tadi akan ditanggapi oleh perbankan konvensional dengan
menikkan tingkat bunga yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi, kelesuan
ekonomi, dan dorongan inflasi kembali. Kecenderungan kenaikan harga yang terus
menerus (inflasi) sebenarnya bisa disebabkan adanya ketidakseimbangan
disektor riil, seperti hambatan produksi karena efisiensi, hambatan impor untuk
proteksi produksi, dan lain sebagainya.
Dalam hal ini telah tampak jelas terlihat, disaat
perekonomian indonesia saat ini sedang labil, sistem perbankan syariah harus
bisa tetap eksis dalam hal mekanisme keuangan syariah untuk mengatasi kerugian
yang disatu pihak disebabkan oleh keberadaan sistem keuangan konvensional yang
merugikan masyarakat.
Prinsip dan Produk perbankan syariah
Dalam bank syariah, hubungan antara bank dengan
nasabahnya bukan hubungan antara debitur dan kreditur, melainkan hubungan
kemitraan (parthnership), antara penyandang dana (shohibul maal),
dengan pengelola dana (Mudharib). Oleh karena itu, tingkat laba bank
syariah tidak saja berpengaruh terhadap tingkat bagi hasil untuk para pemegang
saham tetapi juga berpengaruh terhadap bagi hasil yang dapat diberikan kepada
nasabah penyimpan dana.
Secara umum, piranti-piranti yang digunakan bank syariah
terdiri atas tiga kategori, yaitu:
1. Produk penyaluran dana (financing)
2. Produk penghimpunan dana (funding)
3. Produk jasa (services)
Penghimpunan dana di Bank syariah dapat berbentuk giro,
tabungan dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam
penghimpunan dana masyarakat yaitu berupa:
a) Wadiah, Wadiah yang diterapakan yaitu wadiah
yad dhamamah, yang diterapkan pada rekening giro.
b) Mudharobah, dalam mengimplikasikan prinsip
mudharobah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai shahibul maal (pemilik
modal) dan bank sebagai mudharib (pengelola). Berdasarkan kewenangan
yang diberikan oleh pihak penyimpan dana, prinsip Mudharobah terbagi menjadi
dua yaitu Mudharobah Mutlaqah dan Mudharobah Muqayyadah.
Jenis pembiayaan yang paling sering dipakai oleh kaum Muslim dalam
perjalanan sejarah mereka adalah mudharabah dan musyarakah (partnership).
Mudharabah adalah suatu bentuk perkongsian dengan salah satu pihak
bertindak sebagai financier (penyedia dana finansial), sedangkan pihak
yang lain menyediakan jasa keusahaan (entrepreneurship). Pada posisi
demikian, sang financier bukanlah bertindak sebagai pemberi pinjaman
dana (lender atau creditor), melainkan sebagai investor yang akan
menyumbangkan dana finansial itu untuk tujuan-tujuan produktif. Sebaliknya,
sang pengelola dana akan bertindak sebagai entrepreneur (fund manager)
dan bukan sebagai debitor.
Hubungan yang terjalin di antara kedua belah pihak merupakan suatu hubungan
kemitraan dan kerja sama dan bukan layaknya hubungan yang terjadi dalam
transaksi pinjam-meminjam. Keuntungan dari usaha ini akan dibagi dua
berdasarkan proporsi yang disepakai oleh kedua belah pihak. Namun, jika terjadi
kerugian, sang financier yang akan mendapatkan kerugian, sedangkan
pengelola dana akan kehilangan tenaga dan waktunya. Dalam musyarakah sang
financier terlibat langsung terhadap proses kegiatan bisnis. Ia berbeda
dari mudharabah karena dalam mudharabah sang financier adalah
seorang mitra tidur (sleeping partner). Jika terjadi kerugian, kerugian
itu akan dihitung proporsional terhadap modal yang telah disetor dalam
perkongsian ini. Jika terjadi keuntungan, maka akan dibagikan berdasarkan
proporsi yang telah disepakati di depan. Liabilitas sang financier akan
terbatas hanya pada jumlah pembiayaan yang diberikan dalam usaha ini.
Sekalipun Islam melarang transaksi berbasis bunga dan menggalakkan
penyertaan modal sendiri (equity financing), Islam tidak mengharamkan
kredit secara umum. Islam membolehkan penyaluran kredit yang langsung
berhubungan dengan pembelian barang dan jasa. Ini dapat kita lihat dalam jual
beli, murabahah, salam, dan istihna'. Murabahah merupakan suatu
perjanjian penjualan dengan penjual membelikan suatu barang yang dibutuhkan
oleh pembeli kemudian menjualnya kepada pembeli dengan suatu margin keuntungan
yang disepakati. Pembayaran dapat dilakukan lewat cicilan maupun lump sum.
Dalam jual beli salam, pembelian dengan penyetoran seluruh harga
dilakukan di depan, sedangkan barang yang dipesan akan diantarkan di masa yang
akan datang. Sementara istishna' adalah suatu perjanjian penjualan
ketika seorang kontraktor menyepakati untuk memproduksi atau membangun dan
mengantarkan suatu barang tertentu yang dipesan dengan suatu harga yang telah
disepakati dengan pihak pemesan. Pembayaran dapat diberikan lewat cicilan atau
sesuai dengan kemajuan pembuatan barang yang dipesan.
Pada prinsip Mudharabah yang dilakukan oleh perbankan
syariah sama persis dengan definisi mudharabah yang dikenal dalam kitab-kitab
fiqih. Bank bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib) dan nasabah
bank bertindak sebagai pemilik dana. Dana tersebut digunakan bank untuk
melakukan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat
pula dana tersebut digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua. Hasil
usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati. Rukun mudharabah
terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan
dibagi hasilkan, ada nisbah, ada ijab-kabul), dengan demikian dapat
dikatakan akad mudharabah ini sah.
Di samping itu ada juga modal yang lain seperti ijarah (leasing).
Kesemua modal ini dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan kegiatan bisnis pada masa
itu dan dapat juga dipergunakan secara luas dalam kegiatan bisnis modern.
Banyak sarjana dan peneliti non-Muslim yang membuktikan bahwa perdagangan
internasional yang dilakukan oleh kaum Muslim pada masa kejayaan mereka umumnya
dimotori oleh pembiayaan mudharabah dan musyarakah. Hampir di
seluruh bidang industri telah memakai moda ini termasuk dalam pembiayaan
pertanian, kerajinan, industri olahan dan perdagangan luar negeri baik
antar-Muslim maupun dengan mereka yang non-Muslim seperti Yahudi dan Nasrani.
Begitu luasnya penggunaan modal pembiayaan ini dalam memobilisasi modal dan
mudahnya akses bagi dunia usaha maka terjadilah pertumbuhan ekonomi yang begitu
cepat dan besar dalam perekonomian dunia Islam. Di samping itu pola ini telah
mendorong lebih jauh perdagangan internasional mulai dari Maroko dan Spanyol di
Barat sampai ke India, Cina, dan Asia Tengah di Timur. Ini tidak hanya direkam
oleh data sejarah yang dapat ditemukan di perpustakaan-perpustakaan, tetapi
juga oleh kenyataan ditemukannya mata uang Islam di berbagai belahan dunia
seperti di Rusia, Finlandia, Swedia, Norwegia, dan Inggris.
Tentu saja dalam menjalankan operasionalnya, bank syariah
harus berpedoman kepada fatwa Dewan Pengawas Syariah, sedangkan pada bank
konvensioanal tidak terdapat dewan sejenis; Hubungan antara investor (penyimpan
dana) dengan pengguna dana dan banksebagai intermediary berdasarkan kemitraan,
bukan hubungan debitur-kreditur; Bisnis Bank Syariah bukan hanya berdasarkan profit
oriented tetapi falah oriented, yakni kesejahteraan di dunia dan
kemakmuran di akhirat; Konsep yang
digunakan dalam transaksi Bank Syariah berdasarkan prinsip bagi hasil, jual
beli, dan pengambilan fee/jasa;
Bank Syariah hanya melakukan investasi yang halal dan tidak menimbulkan
kemudharatan atau bencana bagi umat manusia.
Bunga, Riba dan Masyarakat
Sudah banyak terobosan yang telah
dilakukan oleh pengembang konsep ekonomi Islam yang semuanya bermuara untuk
memajukan dunia perbankan syariah di Indonesia. Mulai dari MUI yang telah
mengeluarkan fatwa tentang bunga bank haram. Kemudian disusul dengan beberapa
kebijakan yang dikeluarkan BI, melalui Direktorat Perbankan Syariahnya,
diantaranya telah mengeluarkan kebijakan office chanelling bagi bank
konvensional yang telah membuka Unit Usaha syariah (UUS) untuk memberikan
pelayanan transaksi syariah bagi masyarakat luas.
Kondisi di atas merupakan bukti riil
dukungan terhadap pengembangan industri perbankan syariah di Indonesia. Tetapi,
hasilnya masih dirasakan kurang memuaskan. Sampai saat ini, tercatat market
share industri perbankan syariah Indonesia masih 1,5% dari total market
share industri perbankan nasional. Artinya, 98,5% market share
industri perbankan nasional masih dikuasai oleh dunia perbankan konvensional.
Satu hal yang ironis. Pertama, mayoritas penduduk Indonesia beragama
Islam merupakan potential market yang dapat mendukung pengembangan
perbankan syariah di Indonesia. Hal ini dapat difahami masih banyak umat Islam
yang belum tergerak hatinya untuk bergabung bersama merapatkan barisan dalam
pengembangan ekonomi Islam, khususnya melakukan transaksi pada perbankan
syariah. Kedua, keberadaan industri perbankan syariah relatif sudah
berjalan hampir 15 tahun lebih. Berarti, eksistensi bank syariah sudah tidak
lagi seperti anak kecil yang geraknya tidak lincah, tetapi sudah menjadi pemuda
yang diharapkan dapat bergerak lebih lincah dan responsif terhadap kondisi
perkembangan zaman.
Pendapat bahwa bunga sebagai kompensasi dari terjadinya
penurunan nilai uang dimasa datang (inflasi) merupakan argumen umum yang
sering digunakan. Oleh karena itu, bunga tidak hanya sebagai harga dari uang
saja melainkan sebagai imbalan risiko inflasi bagi pemilik uang. Pendapat ini
sebenarnya sangat lemah lemah, karena telah kita ketahui bersama dalam
perekonomian seperti sekarang bunga merupakan salah satu penyebab terjadinya
inflasi sehingga sering digunakan sebagai intrumen untuk mengendalikan inflasi.
Apakah relevan mengatasi akibat dengan menyuburkan penyebabnya. Dari hal ini
maka jelaslah bahwa bunga merupakan penyakit ekonomi sehingga sudah seharusnya
dihindari.
Di sisi lain, tingkat bunga akan dapat menyebabkan pola
konsumsi masyarakat berubah, yaitu pada saat bunga berada pada tingkat rendah,
biasanya tingkat konsumsi akan naik yang disebabkan oleh bunga kredit rendah
baik konsumsi individual maupun konsumsi untuk investasi, naiknya tingkat
konsumsi akan menaikkan harga barang atau akan terjadi peningkatan inflasi. Perkembangan lembaga
keuangan syariah dengan berbagai instrumen yang ada menimbulkan optimisme akan
perubahan sikap mayarakat terhadap keadaan riba. Tetapi masih terdapat beberapa alasan yang menjadikan bunga kurang diterima
sebagai riba. Alasan tersebut diantaranya, karena berhubungan erat dengan
masalah emosi keagamaan masyarakat yang melibatkan “keyakinan” masyarakat
terhadap kedudukan riba sebagai bunga. Selanjutnya adanya kritis terhadap lembaga
keuangan syariah, sebagian masyarakat yang menolak bunga sebagai riba, dan
masyarakat muslim lebih familiar berkepentingan terhadap lembaga keuangan
konvensional. Hal inilah yang menjadi tugas perbankan syariah kedepannnya untuk
lebih mengenalkan perbankan yang berbasis islami dan bebas riba yang perlu
diterapkan di masyarakat secara luas.
Dalam hal ini masyarakat tentu saja ingin mendapatkan kenyaman dalam
pengelolaan keuangan mereka, terutama mengenai kepercayaan akan keberadaan
sistem perbankan islam. Dengan demikian, keberadaan perbankan Islam menjadi
sangat fundamental sekali untuk terus melakukan pengembangan dan meningkatkan
kinerja perbankan syariah. Dengan tujuan sistem keuangan dan perbankan Islam
untuk mencapai : kemakmuran ekonomi yang meluas dengan tingkat kerja yang penuh
dan tingkat pertumbuhan ekonomi yang optimum (economic well-being with full
employment and optimum rate of economic growth); dan keadilan sosial
ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata (socio-economic justice
and equitable distribution of income and wealth).
Kesimpulan
Riba
bukan hanya merupakan persoalan masyarakat Islam, tetapi berbagai kalangan di
luar Islam pun memandang serius per-soalan ini. Karenanya, kajian terhadap
masalah riba dapat dirunut mundur hingga lebih dari 2.000 tahun silam. Masalah
riba telah menjadi bahan bahasan kalangan Yahudi, Yunani, demikian juga Romawi.
Kalangan Kristen dari masa ke masa juga mempunyai
pandangan tersendiri mengenai riba. Maka, sepantasnya bila kajian tentang riba
pun melihat perspektif dari kalangan non-Muslim tersebut.
Perdebatan masalah haramnya riba selama ini masih banyak
pada tataran normatif dan dalil naqli saja, belum banyak pada kajian
ekonomi secara teoritis dan empirik (dalil aqli), apalagi yang berhubungan
erat dengan sistem keuangan atau perbankan. Untuk itu perlu adanya kajian lebih
lanjut tentang haramnya bunga (riba) dengan pendekatan ekonomi secara teoritik
dan empirik. Dengan membentuk suatu konsep yang difokuskan pada paradigama
hubungan sistem bunga, investasi dan
pertumbuhan ekonomi, dan paradigama hubungan sistem bagi hasil, investasi dan
pertumbuhan ekonomi. Sehingga hasil kajian nantinya diharapkan dapat menjawab
kontroversi riba, sehingga masyarakat yang memilih sistem ekonomi islam tidak hanya didasari oleh
doktrin normatif agama saja melainkan
juga didasari oleh cost and benefit secara ekonomis.
Daftar Pustaka
Abdul Aziz Setiawan, Riba dalam Transaksi Bisnis, http:// www.sebi.ac.id/index.php?
Itemid=33&id=266&option=com_content&task=view (25 Mei 2008)
Antonio, Syafi’i, 2004, Bank Syariah, dari Teori dan Prkatek, Gema
Insani, Jakarta
Antonio, Syafii, Riba dalam Perspektif Agama dan
Sejarah, http://
islamlib.com/id/index.php?page = article&id=466 (12 Februari 2008)
Karim, Adiwarman, A, 2007, Bank Islam, Analisis Fiqih dan Keuangan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Mannan. Abdul, 1997, Teori Dan Praktek Ekonomi Islam,PT.Dana
Bhakti Wakaf, Yogyakarta
Muhammad, 2002, Manajemen Bank Syariah, UPP AMP
YKPN, Yogyakarta
Muhammad, 2000, Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah, UII
Press, Yogyakarta
Qardhawi, Yusuf, 2001, Bunga Bank. Cetakan pertama, Akbar Media Eka
Sarana, Jakarta
Roy Davies dan Glyn
Davies, 1996, dalam buku “A History of Money from Ancient Time to the Present
Day”
Sudarsono, Heri,
2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah, Deskripsi dan Ilustrasi, edisi
2. Ekonisia, kampus Fakultas Ekonomi UII, Yogyakarta
Sudin Haron, 1997, Islamic
Banking: Rules and Regulations, Pelanduk Publications, Petaling Jaya
Sutan Remy Syahdeini,
1999, Perbankan Islam dan Kedudukanya dalam Tata Hukum Perbankan
Indonesia, Grafiti, Jakarta
Taqiyuddin, Abu
Bakar, al-Husaini, 1997, Khifayatul
Akhyar, Bina Ilmu, Surabaya
Tim
Indonesia
School of Life (ISOL), Prinsip Dasar Produk Perbankan Syariah, dalam http://
www.pembelajar.com/ISOL (23 Mei
2008)
Tim redaksi, 1994, Ensiklopedi Hukum Islam, PT. Ikhtiar Baru, Van
Hoeve, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar