KEBIJAKAN PRIVATISASI DAN PENGARUHNYA
DALAM PEREKONOMIAN MAKRO INDONESIA
Siti
Maro’ah
FE UMSurabaya
Jl.Sutorejo 59 Telp.031-3811966 Surabaya 30285
E-mail : stmaro’ah@yahoo.com
Abstract
Privatization policy is one of the government's policy to divert part or all of the state-owned assets to private parties. Privatization of SOEs has led to the pros and cons among the people of Indonesia. Some people agree with the privatization of all privatization can provide better benefits, some people refused to privatization because they are not nationalists and spending of state assets.
Objectives to be achieved through privatization policy is to contribute financially to the state and enterprises, accelerate the application of the principles of good corporate governance, open access to international markets, and technology transfer and transfer best practices to business entities.
In Indonesia, the government may privatize after Parliament approves the draft budget in which there is a target of state revenues from the privatization. Privatization is based on the principles of transparency, independence, accountability, responsibility, fairness, and the principle of the best prices by taking into account market conditions (domestic and international). The biggest contribution of the SOEs is actually barasal of taxes and dividends, and then followed by the results of privatization. Thus if we expect a greater contribution of SOEs to the national economy, then the logical step to do is to make healthy state so that it can contribute in the form of taxes and dividends in an amount greater.
Keywords: Privatization of state enterprises, the National Economy.
Pendahuluan
Kebijakan privatisasi merupakan
salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengalihkan sebagian atau
keseluruhan aset yang dimiliki negara kepada pihak swasta. Pengalihan aset
dapat diartikan sebagai pengalihan kewenangan pengelolaan dari pemerintah
kepada swasta. Selanjutnya perubahan kepemilikan ini , menurut Boardman (1989)
akan berpengaruh terhadap kinerja perusahaan melalui peningkatan efisiensi
penggunaan sumber daya.
Privatisasi BUMN telah menimbulkan
pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia. Sebagian masyarakat
setuju dengan privatisasi sepanjang privatisasi dapat memberikan manfaat yang
lebih baik, sebagian masyarakat menolak privatisasi karena dianggap tidak
nasionalis dan menghabiskan aset negara.
Sementara proses privatisasi itu sendiri berjalan tersendat, yang berakibat,
antara lain, tidak dapat mencapai target sebagaimana yang telah ditetapkan
dalam APBN 2001 (Purwoko,2002).
Pada tanggal 5 September 2005,
pemerintah menetapkan kembali kebijakan privatisasi BUMN melalui penetapan PP
No. 33/2005 tentang tata cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero),
Kebijakan ini merupakan kebijakan turunan untuk melaksanakan Pasal 83 UU No. 19
tahun 2003 tentang BUMN, yang menyatakan perlunya menetapkan PP tentang Tata
Cara Privatisasi Perusahaan Perseroan (Persero) BUMN.
Sebagian besar program dan kebijakan privatisasi dilakukan tidak terlepas
dari politik ekonomi (political economic)
suatu negara. Seperti yang diungkapkan
World Bank (2002) bahwa keberhasilan privatisasi tidak dapat dilepaskan dari
aspek politik ekonomi. Keterlibatan lembaga legislatif serta kesiapan manajemen
perusahaan yang bersangkutan akan sangat menentukan keberhasilan privatisasi.
Untuk menyambut hadirnya era global dan pasar bebas menuntut pemerintah untuk
menciptakan daya saing perusahaan, baik yang dikelola oleh swasta maupun BUMN
untuk ditingkatkan profesionalitasnya. Hasil-hasil penelitian mengindikasikan
bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Stiglitz (1988) dan
Bos (1991) menyatakan bahwa privatisasi dapat meningkatkan kinerja karena dapat
mengubah insentif manajemen dan tata kelola perusahaan (corporate governance) yang lebih baik.
Namun
dalam kenyataannya, kebijakan privatisasi
di Indonesia
bukan cara utama untuk melakukan pembenahan BUMN. Privatisasi hanya merupakan
salah satu komponen, dan akan menjadi langkah tepat jika didukung oleh kondisi
tertentu, dan yang utama adalah adanya infrastruktur hukum dan ekonomi yang
memadai, serta kemampuan pemerintah dalam melakukan swastanisasi itu sendiri
harus sesuai prosedur yang benar dan transparan . Studi internasional yang
dilakukan oleh PBB sampai pada kesimpulan bahwa peluang keberhasilan privatisasi
akan ada hanya di negara- negara yang pemerintahannya terbukti mampu mengelola
perusahaan negara. Adapun di negara-negara yang pemerintahannya tidak mampu
mengelola perusahaan negara dengan efektif dan efisien, maka besar kemungkinan
akan gagal dalam swastanisasi itu. Kesimpulan ini sangat sesuai dengan apa yang
terjadi di Indonesia.
Pemerintahan Indonesia
selama ini belum terbukti mampu mengelola perusahaan negara secara optimal dan berdasarkan pengalaman
empiris, swastanisasi yang dilakukan lebih banyak mendatangkan masalah dari
pada manfaat (Basri, 2009).
Privatisasi
ternyata bukan urusan mudah, dan sudah banyak negara selain Indonesia, misalnya
Taiwan, meskipun perusahaan-perusahaan yang dijual sepenuhnya sehat namun justru mengalami kerugian besar akibat swastanisasi tersebut. Swastanisasi
lazimnya hanya terjadi di sebuah perekonomian yang sudah maju, di mana bursa
saham sudah terbangun secara mapan dan sebagian besar penduduknya sudah mampu
menjadi investor saham, Contoh negara yang sangat sukses menjalankan
swastanisasi adalah Jerman, Inggris, Jepang,
(Basri, 2009).
Adapun Permasalahannya
adalah sebagi berikut ;
1.
Bagaimana
pengertian privatisasi secara teoritis?
2.
Apakah
tujuan dan manfaat privatisasi?
3.
Bagaimana
kebijakan dan pelaksanaan privatisasi BUMN di Indonesia?
4.
Bagaimana
dampak privatisasi terhadap perekonomian makro Indonesia?
Kajian Teori
Privatisasi Dalam
Teori
Privatisasi diyakini bermuara dari teori Neo-Liberalisme, sebuah teori
yang menggerakkan “revolusi” ekonomi dunia pada pertengahan tahun 1980-an yaitu
revolusi Neo-Leberalisme. Revolusi ini bermakna bergantinya sebuah manajemen
ekonomi yang berbasiskan persediaan menjadi berbasis permintaan. Faham/aliran
Neo-Liberalis dengan tokoh yang terkenal penganjur paham ini adalah Milton
Friedman, seorang pemikir yang masih percaya pada kapitalisme klasik yang
berpendapat bahwa urusan negara hanyalah masalah tentara dan polisi, yang
melindungi hidup warganya. Negara tidak boleh mencampuri perekonomian dan
menarik pajak dari rakyatnya, karena menurutnya telah terbukti bahwa krisis
ekonomi semakin memburuk jika negara berusaha mengatasinya. Pokok-pokok ajaran
neoliberal tergambar pada: pertama biarkan pasar
bekerja, kedua kurangi pemborosan dengan memangkas
semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi pelayanan sosial, ketiga
lakukan deregulasi ekonomi, keempat keyakinan
terhadap privatisasi, kelima keyakinan pada
tanggung jawab individual (Nugroho, 2008)
Definisi
privatisasi telah dikemukakan oleh berbagai penulis, antara lain Kay dan
Thompson (1975) mengemukakan bahwa privatisasi merupakan terminologi yang
mencakup perubahan hubungan antara pemerintah dan sektor swasta. Perubahan
hubungan yang terpenting adalah adanya denasionalisasi melalui penjualan kepemilikan
publik serta deregulasi terhadap status monopoli dan kontrak menjadi kompetisi
perusahaan swasta, yang diantaranya dalam bentuk waralaba (franchise). Terkait dengan peran pemerintah dalam
perusahaan negara, Savas (1987) memberikan definisi privatisasi sebagai
tindakan mengurangi peran pemerintah atau meningkatkan peran swasta, khususnya
dalam aktivitas yang menyangkut kepemilikan atas aset-aset. Sedangkan Bastian
(2002) menegaskan bahwa asumsi dasar penyerahan pengelolaan pelayanan publik
kepada sektor swasta adalah dalam rangka peningkatan efisiensi penggunaan
sumber daya. Tindakan privatisasi dipandang sebagai alternatif terbaik karena
mekanisme pasar akan memungkinkan terjadinya efisiensi ekonomi. Terkait asumsi
ini, privatisasi adalah penyerahan pengendalian secara efektif dari suatu
perusahaan milik pemerintah kepada
manajer dan pemilik swasta, yang diikuti oleh pengalihan kepemilikan saham
mayoritas pemerintah kepada swasta. Senada dengan batasan-batasan di atas,
Mardjana (1993) menyimpulkan bahwa privatisasi adalah salah satu unstrumen
kebijakan publik yang dapat digunakan untuk mendorong terjadinya persaingan
bebas, Disamping itu privatisasi juga dapat mengurangi dampak kegagalan pasar (market failure) yang disebabkan oleh:
(1) inefisiensi; (2) informasi yang tidak semitris; (3) biaya sosial; dan (4)
intervensi pemerintah (Mardjana, 1993).
Beberapa
karakteristik privatisasi secara umum
(Nugroho, 2008) menjelaskan sebagai berikut:
(1) Perubahan peran pemerintah dari
pemilik dan pelaksana menjadi regulator dan fasilitator kebijakan serta penetapan sasaran baik secara
nasional maupun sektoral.
(2) Para manajer (pengelola)
selanjutnya akan bertanggung jawab kepada pemilik baru yang diharapkan mampu
mencapai sasaran perusahaaan dalam kerangka regulasi perdagangan, persaingan,
keselamatan kerja, dan peraturan lain yang ditetapkan pemerintah, termasuk
kewajiban pelayanan masyarakat.
(3) Pemilihan metode dan waktu
pelaksanaan kebijakan privatisasi yang
terbaik bagi suatu perusahaan
milik negara mengacu pada kondisi pasar dan regulasi
sektoral.
Sementara itu Savas (1987)
menyatakan bahwa privatisasi lebih merupakan kegiatan politis dari pada
ekonomi. Oleh karena itu maka ditunjukkan ada empat syarat yang harus dipenuhi
ketika akan melakukan privatisasi yaitu :
(1) Pemerintah harus tetap mendorong
pasar dan mendukung serta meningkatkan supply barang-barang dan pelayanan yang
telah ada dengan bertahap meninggalkan peranannya dalam kegiatan sektoral
secara partial atau secara keseluruhan.
(2) Apabila keterlibatan pemerintah
secara kontinu masih dibutuhkan, peranan negara tersebut harus dikurangi
melalui proses penyerahan kepada swasta, yaitu memanfaatkan keberadaan swasta
lebih besar melalui media-media antara, yakni vouchers, franchises, dan kontrak-kontrak
kerja lainnya. Selanjutnya pada program yang sedang berjalan privatisasi
diserahkan kepada pemerintah daerah untuk didekatkan kepada masyarakat yang
sedang dilayaninya.
(3) Harus ada transparansi biaya publik yang dibelanjakan pemerintah sehingga dapat
dicarikan alternatif sistem pergantiannya.
(4) Sistem kompetisi segera diperkenalkan dan didukung serta monopoli
pemerintah segera dihapuskan melalui media deregulasi.
Tujuan dan Manfaat Privatisasi
Tujuan
Privatisasi
Salah satu tujuan yang akan dicapai melalui
kebijakan privatisasi adalah memberikan kontribusi finansial kepada negara dan
badan usaha, mempercepat penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, membuka akses ke pasar internasional,
dan alih teknologi serta transfer best
practice kepada badan usaha. Arah
kebijakan privatisasi diklasifikasi berdasarkan tiga jenis struktur industri,
yaitu untuk badan usaha yang industrinya kompetitif dilakukan Initial Public Offering (IPO) atau strategic sales, untuk badan usaha yang
usahanya bersifat sunset dilakukan divestasi, dan untuk badan
usaha yang usahanya bersifat natural
resources based tetap dipertahankan
sebagai badan usaha (Nugroho, 2008).
Berdasarkan uraian di atas, privatisasi merupakan salah satu kebijakan
publik yang diambil pemerintah bersama
manajemen BUMN untuk menjual atau mengalihkan kendali perusahaan kepada pihak
swasta. Dalam perspektif kebijakan publik, maksud dilakukannya privatisasi (
Ernst, 1994 dalam Nugroho 2008) adalah untuk:
(a) Kebijakan fiskal (fiscal management);
pemerintah mengalami kesulitan dalam merencanakan anggaran belanja dan
pendapatan masing-masing BUMN yang selama ini dibiayai pemerintah. Arus
transaksi antar BUMN yang dipengaruhi pemerintah dipandang terlalu rumit dan
tidak efisien.
(b) Demokratisasi kepemilikan ( creating
a share-owning democracy) ; untuk membangun perekonomian yang demokratis
pemerintah dapat melibatkan pihak swasta untuk secara aktif turut serta dalam
proses pembangunan.
(c) Mengurangi dominasi kelompok pengusaha (reducing
trade union power); privatisasi yang dilakukan pemerintah diharapkan dapat
mengurangi domonasi pasar yang selama ini dikuasai pengusaha atau beberapa
lembaga yang ditinjuk pemerintah.
(d) Menghapuskan sosialisme dan kolektivisme (defeating socialism and
collectivism); privatisasi yang dilakukan pemerintah merupakan salah satu
kebijakan publik yang ditujukan untuk mengurangi dominasi pemerintah terhadap
publik.
Sedangkan tujuan
privatisasi dari perspektif ekonomi menurut ( Moore, 1986) adalah sebagai berikut:
(a) Kebebasan ekonomi dan kepentingan konsumen (Economic freedom and consumer sovereignity); privatisasi yang
dilakukan pemerintah diharapkan dapat membuka kesempatan ekonomi yang lebih
baik kepada pihak swasta sehingga pihak swasta dapat memberikan layanan publik
yang terjangkau oleh pelanggan.
(b) Meningkatkan efisiensi (improving
efficiency); perusahaan publik secara relatif menunjukkan kinerja yang
lebih buruk jika dibandingkan dengan perusahaan swasta dalam posisi kompetisi
serta penggunaan modal dan tenaga kerja yang kurang efisien dan kurang
menguntungkan.
Kay dan Mayer (1995) memberikan penjelasan bahwa tujuan privatisasi
meliputi tiga dimensi yang dapat dijelaskan sebagai berikut:
(a) Keuangan (finance); alasan
dilakukan privatisasi adalah keuangan. Privatisasi BUMN sebagai salah satu profit center bagi pemerintah diharapkan dapat memberikan
kontribusi positif bagi pengembagan perekonomian nasional.
(b) Informasi (Information); melalui
privatisasi diharapkan arus informasi antara manajemen perusahaan dan pemangku
kepentingan (stakeholder) menjadi
makin transparan.
(c) Pengendalian (control);
privatisasi dapat mengurangi campur tangan pemerintah dalam pengelolaan BUMN
dan berdampak pada tingginya komisi (agency
cost). Tingginya biaya komisi ini timbul karena dalam perusahaan publik,
selain memberikan kompensasi kepada manajemen, perusahaan juga harus memberikan kompensasi kepada politisi.
Manfaat Privatisasi:
Manfaat
pelaksanaan kebijakan privatisasi selain untuk memperbaiki perekonomian
nasional ( skala makro ) juga bertujuan untuk meningkatkan kinerja BUMN (skala
mikro). Dapat dijelaskan sebagai
berikut:
Manfaat
privatisasi pada skala makro ekonomi
adalah (1) membantu pemerintah untuk memperoleh dana pembangunan. Dengan
melakukan privatisasi perusahaan diharapkan dapat memberikan kontribusi yang
lebih besar kepada negara, baik dalam bentuk pajak , deviden, maupun kontribusi
langsung terhadap APBN ; (2) pengganti kewajiban setoran tambahan modal
pemerintah, di mana BUMN merupakan salah satu aset yang dimiliki pemerintah sekaligus
agen dalam menjalankan pembangunan nasional. Kontribusi BUMN pasca privatisasi
menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan. Ketika dilakukan Initial
Public Offering (IPO) dan pemerintah juga menjual sebagian saham seri B maka terjadilah divestasi. Dana
hasil penjalan saham Seri B digunakan sepenuhnya oleh pemerintah untuk mendanai
kebutuhan kebutuhan pemerintah (misal: pembayaran angsuran pinjaman luar negeri
dan menutup kekurangan APBN); (3) mendorong Pasar Modal dalam negeri.
Privatisasi melalui penerbitan saham (IPO) diharapkan dapat mendorong pasar
modal dalam negeri.Contoh: Penerbitan saham PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk.
Memiliki kontribusi yang cukup signifikan terhadap pasar modal dengan tingkat
kapitalisasi pasar kurang lebih 18 %. Kapitalisasi sebesar itu merupakan nilai
terbesar yang pernah diberikan satu emiten di Bursa Efek Jakarta.
Manfaat
privatisasi pada skala mikro BUMN adalah (1) Restrukturisasi modal. Privatisasi
diharapkan membentuk struktur modal yang lebih baik bagi perusahaan.
Privatisasi melalui penerbitan saham baru dapat meningkatkan ekuitas perusahaan
sehingga dapat mendanai proyek investasi atau operasional perusahaan dengan
modal sendiri (equity); (2) Keterbukaan dalam pengelolaan perusahaan.
Keterlibatan sektor swasta dan perubahan kepemilikan saham perusahaan menuntut
manajemen untuk lebih transparan dalam melaksanakan tata kelola perusahaan (good corporate governance); (3)
Peningkatan efisiensi dan produktivitas. Perubahan kepemilikan dari pemerintah pada sektor swasta diharapkan
mampu meningkatkan kinerja manajemen; (4) Perubahan budaya perusahaan.Perubahan
kepemilikan perusahaan mendorong manajemen untuk melakukan revitalisasi
manajemen serta perubahan budaya perusahaaan. Perubahan dari status BUMN
menjadi perusahaan swasta menuntut
manajemen untuk bekerja lebih profesional di segala lini.
Dalam
perspektif internal manajemen perusahaan, kebijakan privatisasi bertujuan untuk
(1) memperoleh investor strategis sehingga dapat memacu kinerja manajemen
terutama terkait dengan kemampuan teknis, marketing,
dan managerial skills; (2) memperoleh cash inflows untuk
kepentingan pembangunan infrastrutur telekomunikasi; (3) akselerasi akses
teknologi komunikasi dan metode pengoperasiannya; (4) keterbukaan perusahaan publik diharapkan
dapat mempercepat perubahan dan meminimalkan pengaruh birokrasi (Nugroho,
2008).
Pembahasan
Kebijakan dan
Pelaksanaan Privatisasi di Indonesia
Berdasarkan PP No. 33/2005 tentang Tata Cara Privatisasi Perusahaan
Perseroan (Persero) dalam penjelasannya dinyatakan bahwa privatisasi
dilaksanakan berdasarkan pemikiran yang menyejajarkan peran strategis BUMN
dengan kemajuan ekonomi nasional.
Pengurusan dan pengawasannya harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang
baik (good corporate governance),
sedangkan peningkatan produktivitas dan efisiensi melalui lengkah-langkah
restrukturisasi dan privatisasi.
Restrukturisasi
sektoral dilakukan untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif sehingga
efisiensi dan pelayanan optimal bisa tercapai. Restrukturisasi perusahaan
meliputi penataan kembali bentuk badan usaha, kegiatan usaha, organisasi,
manajemen, dan keuangan. Sedangkan privatisasi
dilakukan bukan semata-mata bermakna
sebagai penjualan perusahaan, melainkan sebagai alat dan cara pembenahan BUMN
untuk mencapai beberapa sasaran skaligus, termasuk peningkatan kinerja dan
nilai tambah perusahaan, perbaikan struktur keuangan dan manajemen, penciptaan
struktur industri yang sehat dan kompetitif, pemberdayaan BUMN diharapkan mampu bersaing dan beorientasi global,
penyebaran kepemilikan oleh publik serta pengembangan pasar modal domesttik.
Dengan dilakukannya privatisasi ini bukan berarti kendali atau kedaulatan
negara atas BUMN ybs menjadi berkurang atau hilang. Dalam hal ini negara tetap
menjalankan fungsi penguasaan melalui regulasi sektoral tempat BUMN yang
diprivatisasi melaksanakan kegiatan usahanya.
Sejalan
dengan UU No. 19/2003 tentang BUMN, PP ini juga menetapkan kriteria persero apa
saja yang dapat /tidak dapat diprivatisasi, selain itu diatur pula cara dan prosedurnya. Pada ketentuan umum PP
ini disebutkan Perusahaan Perseroan (Persero) adalah BUMN yang berbentuk
perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh sahamnya atau
paling sedikit 51% dimiliki oleh pemerintah RI dan bertujuan mencari
keuntungan. Privatisasi adalah penjualan saham persero, baik sebagian
atau seluruhnya kepada pihak lain dalam rangka meningkatkan kinerja dan nilai
perusahaan, memperbesar manfaat bagi negara dan masyarakat, serta memperluas
kepemilikan saham oleh masyarakat.
Di Indonesia,
pemerintah dapat melakukan privatisasi setelah DPR-RI memberikan persetujuan
atas RAPBN yang di dalamnya terdapat target penerimaan negara dari hasil
privatisasi. Rencana privatisasi dituangkan dalam program tahunan privatisasi
yang pelaksanaannya dikonsultasikan kepada DPR-RI. Privatisasi dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian, akuntabilitas,
pertanggung-jawaban, kewajaran, dan prinsip harga terbaik dengan memperhatikan
kondisi pasar (domestik dan internasional).
Privatisasi dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
1. Penjualan saham berdasarkan ketentuan pasar modal, antara lain penjualan
saham melalui penawaran umum (Initial
Public Offering (IPO) / Strategic Sales (SS)), penerbitan obligasi
konversi, dan efek lain yang bersifat ekuitas. Termasuk penjualan saham kepada
mitra strategis (direct placement) bagi persero yang telah terdaftar di bursa.
2. Penjualan saham secara langsung kepada investor ( mitra strategis atau
investor lain termasuk investor finansial. Cara ini khusus bagi persero yang
belum terdaftar di bursa.
3. Penjualan saham kepada manajemen dan/atau karyawan persero ybs.(Management Buy Out/EBO).
Privatisasi BUMN dimulai
ketika pada tahun 1991 Semen Gresik melepas sahamnya 27 % ke pasar modal. Pada
tahun 1994 disusul Indonesia Satelit melepas sahamnya sebanyak 10 %. Adapun
BUMN yang telah diprivatisasi sejak 1991 sampai dengan tahun 2004 dapat di lihat
pada tabel 1 – di bawah
Tabel 1: Privatisasi
BUMN
Tabel di bawah ini menunjukkan seberapa jauh masing-masing model dapat
memenuhi kriteria sebagai model privatisasi yang ideal.
Tabel 2 : Privatisasi Ideal
Dari tabel di atas, dpat dijelaskan bahwa alternatif model yang paling
mendekati ideal adalah model privatisasi dengan private placement oleh
investor luar negeri dengan penyertaan di atas 50 %. Namun tidak semua investor
luar negeri yang dapat memenuhi kriteria sebagai investor ideal. Kriteria di
atas akan dapat terpenuhi apabila investor baru (1) merupakan perusahaan yang
bergerak di bidang usaha yang sama dengan BUMN yang akan diprivatisasi, (2)
memiliki reputasi yang baik di tingkat internasional, (3) memiliki jaringan
pemasaran yang baik di tingkat internasional, (4) telah menerapkan prinsip good corporate governance dalam
perusahaannya, (5) telah memiliki budaya yang baik dalam perusahaannya, serta
(6) memiliki keunggulan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Adapun
kriteria BUMN persero yang dapat diprivatisasi harus memenuhi kriteria: (1)
Industri/sektor usahanya kompetitif, adalah industri/sektor uasaha yang pada
dasarnya dapat diusahakan oleh siapa saja seperti BUMN ataupun swasta, (2)
Industri/sektor usahanya terkait dengan teknologi yang cepat berubah, adalah industri/sektor usaha kompetitif
dengan ciri utama terjadinya perubahan teknologi yang sangat cepat dan
memerlukan investasi yang sangat besar untuk menangani teknologi tsb.
Sedangkan BUMN persero yang tidak dapat
diprivatisasi adalah (1) Persero yang bidang usahanya berdasarkan ketentuan
peratuan perundang-undangan hanya boleh dikelola oleh BUMN, (2) Persero yang bergerak di sektor
usaha yang berkaitan dengan keamanan negara, (3) Persero di sektor terentu yang
oleh pemerintah diberikan tugas khusus untuk melaksanakannya demi kepentingan
masyarakat, dan (4) Persero yang
bergerak di bidang sumber daya alam dan berdasar UU dilarang untuk
diprivatisasi.
Selain itu pelaksanaan privatisasi juga
harus memperhatikan manfaat eksternalitas dan kinerja BUMN yang akan diprivatisasi.
BUMN yang memiliki manfaat kesternalitas dan kinerja rendah maka dapat dijual
atau dilikuidasi. Terhadap BUMN yang memiliki manfaat eksternalitas rendah
tetapi kinerjanya tinggi, maka pemerintah dapat menjual atau mendatangkan
investor baru. Sedangkan BUMN yang memiliki manfaat eksternalitas tinggi dan
kinerja tinggi pula, maka perlu dipertahankan dan pemerintah tidak perlu
memlikinya 100%. Terhadap BUMN yang memiliki manfaat eksternalitas tinggi
tetapi kinerja rendah, maka perlu melakukan upaya pemberdayaan atau
revitalisasi untuk peningkatan kinerja.
Tabel 3
Pada tabel berikut ini diilustrasikan
kondisi beberapa BUMN berdasarkan tinggi/rendahnya eksternalitas dan tingkat
efisiensinya.
Tabel4
Pelaksanaan privatisasi BUMN yang dicanangkan oleh Pemerintah Indonesia
ternyata tidak dapat berjalan mulus sebagaimana yang diharapkan. Misalnya realisasi privatisasi BUMN tahun 2001 hanya mampu mencapai 50%
dari target. Sembilan BUMN yang seharusnya diprivatisasi pada tahun 2001
terpaksa di carry over ke tahun 2002.
Sementara itu, untuk tahun 2002 sendiri, pemerintah mentargetkan privatisasi
untuk 15 BUMN. Pelaksanaan privatisasi
yang terjadi sampai saat ini masih terkesan ruwet, berlarut-larut, dan tidak
transparan. Dikatakan ruwet karena tidak adanya aturan yang jelas tentang
tata-cara dan prosedur privatisasi. Proses privatisasi dari setiap BUMN
dilakukan dengan prosedur dan perlakuan yang berbeda. Pelaksanaan privatisasi
juga terkesan berlarut-larut. Keputusan yang sudah diambil pemerintah tidak bisa
dengan segera dilaksanakan, karena berbagai alasan. Keputusan untuk menentukan
pemenang tender privatisasi juga tidak ada aturan atau formula yang jelas,
sehingga terkesan pemerintah kurang transparan dalam proses privatisasi (Komisi
V DPR-RI).
Kegagalan pelaksanaan privatisasi juga
disebabkan adanya penolakan terhadap privatisasi BUMN. Penolakan terhadap
privatisasi BUMN dapat dilihat dari maraknya demo-demo untuk menentang
privatisasi BUMN, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun karyawan BUMN. Penolakan
terhadap privatisasi juga datang dari pihak-pihak tertentu seperti Direksi
BUMN, Pemerintah Daerah, DPR, dll. Berbagai alasan dikemukakan oleh pihak-pihak
tertentu untuk menolak privatisasi BUMN, antara lain (1) privatisasi dianggap
merugikan negara, (2) privatisasi kepada pihak asing dianggap tidak nasionalis,
(3) belum adanya bukti tentang manfaat yang diperoleh dari privatisasi.
Berikut ini dipaparkan hasil privatisasi
BUMN tahun 2002 sampai dengan 2006 dan dari tahun 2006 hingga tahun 2008.
Tabel
5
Tabel 6
Sumber : Departemen Keuangan
Berdasarkan tabel 5
di atas dijelaskan bahwa pada tahun 2005 pemerintah sempat menghentikan
kebijakan privatisasi. Hal ini mungkin
terkait dengan master plan pembenahan BUMN 2005 – 2009 yang disebutkan
secara jelas bahwa visi pemerintah tentang BUMN adalah : “ BUMN merupakan pelaku bisnis strategis yang harus dikelola secara
profesional, sehingga mempunyai peranan yang penting dalam perekonomian
nasional untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat”. Adapun misi yang dirumuskan pemerintah demi
mencapai visi tersebut meliputi tiga unsur, yaitu:
1.
Membangun
BUMN yang efisien;
2.
Menjadikan
BUMN sebagai salah satu sumber kesejahteraan rakyat, dan
3.
Memisahkan
fungsi BUMN sebagai unit usaha dengan fungsi lainnya.
Pemerintah
menggariskan strategi dasar demi tercapai
misi tersebut, yang terdiri dari beberapa unsur yaitu:
1.
Mengelompokkan
ulang dan mengevaluasi BUMN ke dalam
BUMN yang menangani cabang-cabang produksi penting dan menguasai hajat hidup
orang banyak, BUMN yang usahanya bersifat komersial dan strategis, serta BUMN
yang kegiatan usahnaya komersial secara umum;
2.
Melaksanakan
restrukturisasi berkelanjutan;
3.
Melakukan
sinergi BUMN dan aliansi strategis.
Namun
sejak tahun 2006 penjualan aset negara khususnya BUMN ini dkembali dilakukan.
Menurut penjelasan Menteri BUMN bahwa privatisasi merupakan pilihan yang
terelakkan untuk menutup sebagian difisit APBN, disamping sumber yang lain
yaitu dari utang baik dari dalam maupun luar negeri. Karena difisit APBN cenderung
membesar dari tahun ke tahun, maka kian gencar pula pemerintah dalam mencari
utang dan melakukan privatisasi BUMN pada tahun-tahun berikutnya. Jadi bila
dikaitkan dengan master plan pembenahan BUMN yang telah dibuat, tampaknya mengalami
perubahan begitu saja di lapangan. Inkonsisten seperti ini bukan hanya
membingungkan tetapi juga sangat beresiko bagi kredibilitas pemerintah sendiri.
Dampak Privatisasi
BUMN Terhadap
Perekonomian Makro Indonesia
Idealnya privatisasi BUMN dipandang sebagai langkah untuk
mengurangi intervensi pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya
dilaksanakan oleh sektor swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan daya
saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung pertumbuhan ekonomi
Indonesia. Namun, privatisasi yang dilakukan pemerintah saat ini bukan dalam
tujuan tersebut, melainkan untuk menutup defisit APBN. Meskipun BUMN adalah
“milik negara” namun tidak ada kebenaran yang cukup bagi pemerintah untuk
melego BUMN-nya untuk mengisi kekurangan dana operasionalnya. Kekurangan pada
budget anggaran adalah tanggung jawab institusi pemerintah, yang selayaknya
diatasi dengan cara efisiensi operasional, bukan dibebankan kepada orang lain.
Pemerintah
mulai tahun 2002 cenderung melakukan
obral BUMN yang saat itu bernilai buku Rp. 850 trilyun atau US$ 89,5
milyar yang bukan hanya merugikan namun
juga sangat memalukan dan memilukan ( Basri, 2009). Berikut ini adalah beberapa ilustrasi privatisasi
beberapa BUMN :
1.
Penjualan PT Semen Gresik (SG) tahun 1998
yang sangat merugikan karena dua alasan yaitu (a) kontrak jual-belinya
bersyarat (conditional sale and purchase agreement/CSPA), dan (b) harga
jualnya terlalu murah.Dalam CSPA Cemex sebagai pembeli yang hanya memiliki 14%
saham (ditambah pembelian di bursa efek maka total sahamnya menjadi
25,53%) ternyata mempunyai otoritas yang
sama dengan pemerintah RI yang mempunyai saham
51 %. Cemex bahkan mendapat jatah wakil direktur utama dan wakil
komisaris yang kekuasaannya sama dengan direktur utama dan komisaris utama.
Bagaimana mungkin kontrak yang sedemikian ini bisa ditanda-tangani? Lebih
menyedihkan lagi harga saham SG pun jauh dibawah nilai pasarnya.
2.
Penjualan sama BCA yang akibat krisis beralih
tangan dari Keluarga Salim ke Pemerintah RI. Divestasi saham BCA 51 % oleh BPPN pada tahun 2002 hanya
menghasilkan dana sekitar Rp. 5,345 trilyun. Jumlah ini bahkan tidak sampai 10
% dana rekapitulasi BCA yang telah dikeluarkan negara yang mencapai Rp. 59,7
trilyun. Terlebih lagi dari divestasi yang merugikan itu pemerintah RI harus
menanggung biaya bunga obligasi rekap yang pada akhir tahun 2002 mencapai Rp.
47,7 trilyun. Bagaimana hal ini bisa terjadi lagi?
3.
Divestasi indosat tahun 2002. Sebelum Mei 2002 Indosat bersama Deutsche
Telekom (DT) memiliki Satelindo dengan pembagian saham 75 % (Indosat) dan 25 %
(DT). Pada bulan Mei 2002 Indosat mengambil alih 25 % saham DT senharga US$ 325 juta. Seharusnya nilai Satelindo
menjadi US$ 1.3 milyar Lalu pada bulan
Oktober 2002 STT Telemedia (Singapura)
membeli 41,94 % saham pemerintah di PT Indosat
dengan harga hanya US$ 1,487 milyar. Padahal nilai Satelindo sendiri
sudah US$ 1,3 milyar. Jadi seluruh saham Indosat minus Satelindo hanya dihargai US$ 187 juta,
padahal Indosat adalah induk Satelindo. Dengan kata lain 41,94 % saham pemerintah
di Indosat yang dibeli STT hanya dihargai sebesar US$ 79 juta, dan dengan harga
“super obral” ini STT telah menguasai bisnis satelit dan hak operator fixed-line di Indonesia, sekaligus menjadikannya
sebagai penguasa mayoritas bisnis
seluler di Indonesia. Ketika itu dikabarkan bahwa STT adalah pihak yang
memberikan penawaran tertinggi. Kalau tawaran tertinggi masih merugikan,
mangapa penjualan dipaksakan?
Beberapa
contoh kasus privatisasi di atas terutama karena desakan untuk menutup defisit
APBN. DPR yang seharusnya mengontrol segala sesuatunya, dalam praktiknya bukan
membantu menjernihkan situasi namun malah sebaliknya . Yang pasti privatisasi padamasa itu merupakan
privatisasi terburuk dan paling merugikan .
Reaksi
pemerintah dengan kejadian seperti di atas, pada awalnya cukup bijaksana yaitu
menghentikan privatisasi sebagai cara untuk menambal defisit APBN sehingga pada
tahun 2005 tidak ada privatisasi BUMN. Namun pada tahun-tahun berikutya
privatisasi dilakukan lagi. Meskipun tidak separah pada masa sebelumnya. Contoh
penjalan saham Perusahaan Gas Negara (PGN) pada tahun 2006, yang sudah
direncanakan sejak tahun 2005. Saham PGN yang akan dijual sebanyak 5,8 % (185
juta lembar saham). Entah mengapa, pelaksanaan
privatisasi ini berjalan lambat sehingga baru dilakukan pada Desember 2006
dengan harga p. 11.350/lembar saham. Pdahal jika transaksi dilakukan pada
Agustus 2005 harganya mencapai Rp. 13.600/lembar saham. Timing yang buruk berakibat
fatal . Tidak baerhenti sampai di situ, pada tahun 2007 ketika berlangsung
divestasi saham pemerintah di Bank BNI . Pemerintah memutuskan melepas saham
sebanyak 3,95 milyar saham BNI seharga Rp.2.050/lembar. Harga itu lebiih murah 28 % dari harga
pasaran tertinggi.Rp. 2.850/lembar pada sesi penutupan tanggal 25 Juli 2007.
Dalam transaksi ini negara dirugikan hingga Rp. 3, 16 trilyun. Astaghfirullah
hal adziim.
Berdasarkan
uraian di atas, ternyata hasil privatisasi sebenarnya tidak sepadan dengan apa
yang dikorbankan. Apalagi dengani privatisas BUMN, yang dijual kepada pihak asing, maka yang lepas dari
kontrol negara bukan hanya sejumlah aset, tetapi juga kebanggaan nasional yang
bahkan digantikan dengan rasa kekhawatiran akan makin menguatnya dominasi asing
di perekonomian tanah air kita tercinta ini.
Bagan berikut ini
memaparkan total penerimaan negara dari BUMN sejak tahun 2003 hingga tahun
2009.
Dari
bagan/tabel diatas, menunjukkan secara jelas betapa sumbangan terbesar BUMN
sesungguhnya adalah barasal dari pajak, lalu deviden, baru kemudian diikuti
oleh privatisasi. Dengan demikian
apabila kita mengharapkan kontribusi yang lebih besar dari BUMN bagi
perekonomian nasional, maka langkah logis yang harus dilakukan adalah
menyehatkan BUMN agar dapat membayar pajak dan deviden dalam jumlah yang lebih
besar lagi.
Kesimpulan
Beberapa
kesimpulan yang dapat ditarik di akhir tulisan ini adalah:
1.
Privatisasi adalah kebijakan yang multifacet-
banyak muka. Secara ideologis bermakna meminimalisir peran negara. Secara
manajemen bermakna meningkatkan efisiensi pengelolaan usaha dan meningkatkan
nilai perusahaan, Secara anggaran, privatisasi dapat diartikan sebagai pengisi
kas negara yang sedang difisit.
2.
Salah satu tujuan yang akan dicapai melalui
kebijakan privatisasi adalah memberikan kontribusi finansial kepada negara dan
badan usaha, mempercepat penerapan prinsip-prinsip Good Corporate Governance, membuka akses ke pasar internasional,
dan alih teknologi serta transfer best
practice kepada badan usaha.
Sedangkan manfaat pelaksanaan kebijakan privatisasi
selain untuk memperbaiki perekonomian nasional ( skala makro ) juga bertujuan
untuk meningkatkan kinerja BUMN (skala mikro).
3. Privatisasi yang ideal adalan privatisasi yang mampu meningkatkan kinerja
BUMN; mampu menerapkan prinsip-prinsip goog corporate governance; mampu
meningkatkan akses ke pasar internasional; terjadinya transfer iptek;
terjadinya perubahan budaya; dan mampu memberikan kontribusi menutup defisit
APBN.
4. Di Indonesia, pemerintah dapat melakukan privatisasi setelah DPR-RI
memberikan persetujuan atas RAPBN yang di dalamnya terdapat target penerimaan
negara dari hasil privatisasi. Rencana privatisasi dituangkan dalam program
tahunan privatisasi yang pelaksanaannya dikonsultasikan kepada DPR-RI.
Privatisasi dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, kemandirian,
akuntabilitas, pertanggung-jawaban, kewajaran, dan prinsip harga terbaik dengan
memperhatikan kondisi pasar (domestik dan internasional).
5. Kebijakan privatisasi di Indonesia dilaksanakan berdasarkan pemikiran yang
menyejajarkan peran strategis BUMN dengan kemajuan ekonomi nasional. Pengurusan dan pengawasannya harus dilakukan
berdasarkan prinsip-prinsip tata kelola
perusahaan yang baik (good corporate
governance), sedangkan peningkatan produktivitas dan efisiensi melalui
langkah-langkah restrukturisasi dan privatisasi.
6.
Sumbangan terbesar dari BUMN sesungguhnya adalah barasal dari
pajak, lalu deviden, baru kemudian
diikuti oleh dari hasil privatisasi. Dengan demikian apabila kita mengharapkan
kontribusi yang lebih besar dari BUMN bagi perekonomian nasional, maka langkah
logis yang harus dilakukan adalah menyehatkan BUMN sehingga dapat memberi
kontribusi berupa pajak dan deviden
dalam jumlah yang lebih besar lagi
Rekomendasi
1. Dalam
menjalankan tugasnya, manajemen BUMN dituntut untuk lebih transparan srta mampu
menerapkan prinsip good corporate
governance . Manajemen BUMN harus sadar bahwa setelah privatisasi,
pengawasan bukan hanya dari pihak pemerintah tetapi juga investor yang
menanamkan modalnya ke BUMB tersebut.
2. Privatisasi harus dikembangkan sebagai strategi bisnis,
bukan sebagai strategi anggaran – untuk menambal difisit anggaran. Oleh karena
itu pemerintah hendaknya menetapkan perarturan yang benar-benar kondusif sehingga
kebijakan privatisasi yang dilakukan dapat memperbaiki perekonomian
nasional (skala makro) dan meningkatkan kinerja BUMN (skala mikro).
Daftar
Pustaka
Basri,
Faisal (2009): Lanskap Ekonomi Indonesia
. Jakarta : Kencana.
Bastian,
Indra ( 2002) : Privatisasi di Indonesia,
Jakarta : Salemba Empa
Bos,Deiter
(1991) : A Theory of the Organization of
Public Interprises, Journal of Economics,
Supplement, 5,1985, pp 17 – 40.
Kay, J.A. dan D.J. Thompson (1986) : Privatization
: A Policy in Search of A Rational, The Economic Journal, Vol 96, March
1986, pp 18 – 32.
Moore,
Stephen (1987) : Contracting Out : A
Painless Alternatif to Budget Cutter’s Knife, in Steve H,Hanke (Ed),
Prospect of Privatization, New York, The Academy of Political Science.
Nugroho,
Riant (2008) : Manajemen Privatisasi BUMN. Jakarta : PT Gramedia
Savas,
E.S. (1997): Privatization: The Key to
Better Government, New Jersey: Chatam House Publisher, Inc.
Stiglitz, Joshep E.(1988) : Economics of The Public Sector, New York
: W.W. Northon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar