KIAT
SUKSES MENGEMBANGKAN WIRAUSAHA
Siti Salbiyah
FE-UMSurabaya
Jl. Sutorejo
59 Surabaya Telp.031-3811966
e-mail : salbiyah@yahoo.co.id
Abstract
“Help each other in
doing good and pious, and do not help one another in sin and
transgression" (Letter (5) Al-Maidah: 2). The best man is for the benefit
of other humans. The phrase provides learning for all human beings as social
beings who have been equipped with the properties of solidarity by God the
Creator of the social skills are encouraged to reflect on it in the form of
deeds / actions that could provide benefits for himself or others. Deeds and
actions that could provide benefits for himself and others that must be
oriented to the future as a deed which contains the value of worship, so it
needs to start with the intention of seeking ridholillah and done with full
sincerity in order to be grateful for every blessing that has been given to us
as humans, such as health, ability to work hard, be creative and innovation,
and others. For individuals who do the deeds / actions coupled with the
intention of seeking ridholillah and being grateful, of course, will appear
personal traits that promote honesty, discipline, responsibility, and are
oriented towards the interests of the market or customers. Therefore we so
successful entrepreneurship, the necessary measures should be coupled with in
order to create benefits for themselves and others with full sincerity to
honesty, discipline, tenacity, creative and innovative in meeting the needs of
many, so it will have an impact on the welfare of society a lot.
Keywords: Tips, Success, Entrepreneur
Pendahuluan
Tantangan
kesejahteraan hidup sekarang ini semakin sulit dipenuhi, baik sektor
formal maupun informal. Masih saja
dirasa belum memberikan solusi berarti
dalam permasalahan ekonomi yang ada,
karena itu sebagai individu kita harus mampu berfikir kreatif dan
inovatif untuk mampu membaca peluang serta pandai memanfaatkan peluang tersebut
guna mencapai sisi-sisi ekonomi yang optimal demi meningkatkan kesejahteraan
hidupnya. Islam mengajarkan bahwa sebaiknya baik manusia adalah manusia yang
dapat memberikan manfaat kepada manusia lainnya. Hal ini mengandung arti bahwa
manusia hidup tidak boleh malas , maka sebagai manusia harus berjuang
untuk memberikan pengorbanan yang dapat
membawa manfaat bagi diri dan lingkungannya. Dalam surat Al’asher dinyatakan
bahwa manusia dianjurkan untuk memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk berbuat
kebaikan sebagimana firman Alloh dst ……. Kompetisi
setiap saat kita lakukan baik secara sadar maupun tidak, semua itu harus
ditimbang menurut sisi ekonomis, bisnis, manfaat dan keuntungannya. Harus ada
kesadaran untuk bergerak membangkitkan
kemampuan dan kreativitas untuk mencapai
kesejahteraan hidupnya.
Wirausaha
merupakan salah satu bentuk implementasi untuk memenuhi tingkat kesejahteraan.
Selain menguntungan dari sisi ekonomi, sebagian besar kegiatannya juga sangat
berperan dalam usaha memenuhi kebutuhan masyarakat banyak baik secara
langsung maupun tidak langsung. Manfaat
lainnya dapat, membantu mengatasi permasalahan tenaga kerja walaupun kadangkala
bersifat jangka pendek atau sekedar tenaga musiman, akan tetapi cukup realistis
jika diungkapkan bahwa wirausaha memiliki banyak manfaat lain selain menyangkut
nilai nominal, seperti kepuasan diri dan pencapaian tujuan personal yang telah
dicapai pengusaha tersebut. Tujuan penulisan ini
memberikan gambaran kepada para pembaca /masyarakat tentang bagaimana mengembangkan kemampuan kewirausahaan, agar dapat berusaha atau menciptakan lapangan kerja. Kajian dalam hal ini hanya
meliputi kiat sukses dalam berwirausaha.
Kajian Teoritis
Kewirausahaan
adalah semangat, perilaku dan kemampuan untuk
memberikan tanggapan yang posititif terhadap peluang memperoleh
ktkeuntungan untuk diri sendiri dan atau pelayanan yang blebih baik, serta
menciptakan dan mnyediakan yang lebih bermanfaat dan menerapkan cara kerja yang
efiien , melalui keberanian mengambil resiko, kreativitas dan inovatif serta
kemampuan manajemen. Wirausaha berasal dari kata Wira dan
Usaha. Wira berarti “teladan” atau patut dicontoh , sedangkan “usaha” berarti
“berkemauan keras” memperoleh manfaat. Jadi seorang wirausaha adalah seseorang
yang berkemauan keras dalam bisnis yang patut menjadi tauladan hidup. (Tarmuji
T, 1996).
Seseorang wirausaha adalah seseorang yang memiliki :
wawasan komersial dan kesadaran akan pasar, bekerja secara tekun dan mandiri, pikiran yang inovatif dan kreatif,
beorintasi ke arah perubahan, mampu memanag lingkungan. Kemampuan tersebut akan selalu nampak pada
sikap, motivasi dan perilaku pada pribadi yang bersangkutan. Secara sederhana arti kewirausahawan adalah
(entrepreneur) adalah orang yang berjiwa berani mengambil resiko untuk membuka
usaha dalam berbagai kesempatan. Berjiwa
berani mengambil resiko artinya bermental mandiri dan berani memulai usaha,
tanpa diliputi rasa takut atau cemas sekalipun dalam kondisi tidak pasti. (
Kasmir, 2006 ). Seorang wirausahawan
dalam pikirannya selalu berusaha mencari, memanfaatkan, serta menciptakan
peluang usaha yang dapat memberikan keuntungan. Bahkan resiko kerugian yang
dihadapi kadangkala justru merupakan pelajaran yang berharga untuk melakukan
perhitungan dan perubahan.
Jiwa wirausahaan inilah yang
mendorong minat seseorang untuk mendirikan dan mengelola usaha secara
professional. Artinya bahwa minat wirausaha harus diikuti dengan perencanaan
dan perhitungan yang matang. Misalnya dalam hal memilih bidang usaha yang akan
dijalankan sesuai dengan prospek dan kemampuan pengusaha. Pemilihan bidang
usaha seharusnya disertai dengan berbagai pertimbangan, seperti minat, modal,
kemampuan, dan pengalaman sebelumnya. Jika belum memiliki pengalaman
sebelumnya, seseorang bisa menimba pengalaman dari orang lain. Seorang
wirausahawan harus memiliki kemampuan yang kreatif dan inovatif dalam menemukan
dan menciptakan berbagai ide. Setiap pikiran dan langkah wirausahawan adalah
bisnis. Bahkan, mimpi seorang pembisnis sudah merupakan ide untuk berkreasi
dalam menemukan dan menciptakan bisnis-bisnis baru.
Berdasarkan uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa kewirausahaan merupakan suatu kemampuan dalam hal menciptakan
lapangan usaha. Kemampuan menciptakan lapangan usaha memerlukan adanya
kreativitas dan inovasi yang terus menerus untuk menemukan sesuatu yang berbeda
dari yang sudah ada sebelumnya. Kreativitas dan inovasi tersenbut pada akhirnya
mampu memberikan kontribusi kesejahteraan bagi dirinya dan masyarakat banyak.
Pembahasan
Jika kita bandingkan,
kenikmatan memiliki usaha sendiri dengan bekerja pada suatu perusahaan akan
sangat banyak perbedaan. Untuk menjadi seorang pegawai dibutuhkan kepandaian,
seperti dipersyaratkan dalam batas nilai IPK, harus mengikuti dan lulus tes,
pandai bergaul, berpenampilan baik sampai memiliki koneksi atau referensi
(kenal orang dalam) tertentu. Bahkan tidak jarang pegawai calon pegawai diminta
pembayaran illegal dalam jumlah tertentu. Artinya, begitu banyak persyaratan
yang harus dipenuhi. Terkadang kita menjadi miris jika mendengar ada berita
untuk menjadi pegawai mesti bayar puluhan juta rupiah. Anehnya, banyak orang
yang merogoh kantong untuk menjadi pegawai tersebut. Padahal, jika uang
tersebut digunaka untuk malakuka wirausaha, jumlahnya sudah jauh dari cukup.
Disamping itu, perkembangan penghasilan yang diterima relative kecil.
Semetara itu, syarat menjadi
wirausaha relative lebih mudah. Hal utama yang harus dimiliki adalah kemauan,
kemudian barulah kemampuan. Paling tidak, ada empat keuntungan yang diperoleh dari
wirusaha, yaitu :
1. harga diri
2. penghasilan
3. ide dan motivasi
4. masa depan
Dengan membuka usaha atau berwirausaha, harga diri seseorang tidak turun,
tetapi sebaliknya meningkat. Si pengusaha menjadi kelas tersendiri di
masyarakat dan dianggap memiliki wibawa tertentu, seperti disegani dan di
hormati. Jika dulunya masyarakat malu jika tidak menjadi karyawan, fenomena ini
sekarang mulai terbalik. Banyak pengusaha yang sukses dalam menjaga menjalankan
usahanya menjadi contoh bagi masyarakat, apalagi mampu memberikan peluang kerja
yang sangat dibutuhkan. Dalam banyak kasus, pengusaha bahkan dianggap sebagai
penyelamat bagi mereka yang membutuhkan lapangan kerja. Dan perlu diingat bahwa
menjadi pemilik usaha dengan memperkerjakan orang lain merupakan hal yang sangat
mulia.
Dari sisi penghasilan, memiliki usaha sendiri jelas dapat
memberikan penghasilan yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan menjadi
pegawai. Penghasilan seorang pegawai dapat dikalkulasikan untuk suatu periode.
Tentu saja besarnya tidak jauh berbeda setiap bulan. Sementara itu, besar kecil
penghasilan seorang pengusaha tergantung dari usaha kita. Besar kecilnya
penghasilan karyawan lebih banyak ditentukan oleh si pengusaha. Semetara itu,
meningkatnya penghasilan pengusaha tidak mengenal batas waktu, terkadang
istilah kalau ada booming, maka keuntungan akan mengalir seperti air yang tak
putus-putusnya, apa saja yang dilakukan selalu memperoleh keuntungan.
Biasanya para wirausaha selalu memiliki banyak ide yang
begitu banyak untuk menjalankan kegiatan usahanya. Telinga, mulut, dan mata
selalu memberikan inspirasi untuk menangkap peluang yang ada. Bahkan ada
guyonan yang agak eksterm yang mengatakan bahwa hidung pengusaha dapat mencium
dimana ada peluang untuk memperoleh keuntungan. Seorang pengusaha juga memiliki
indra keenam yang mampu membaca sesuatu yang tidak dapat dibaca orang lain.
Pengusaha juga memiliki motivasi yang tinggi untuk maju dibanding dengan
menjadi pegawai. Terpikir, melihat, atau mendengar sesuatu selalu menjadi ide
untuk dijual. Motivasi untuk maju dan semakin besar kan selalu melekat dalam
hati seorang pengusaha. Setiap waktu selalu timbul ide untuk menjadikan sesuatu
menjadi uang. Sebagai contoh, seorang yang memiliki jiwa pengusaha melihat
sampah saja sudah berpikir untuk menjadikan uang, melihat lokasi yang strategis
sudah merupakan uang. Masa depan pengusaha yang sukses
relatif jauh lebih baik dibanding pegawai.
Seorang wirausahawan tidak pernah pensiun dan usaha yang dijalankan dapat
diteruskan
kepada generasi selanjutnya.
Bagaimana memulai wirausaha.? Ada lima
sebab seseorang atau cara seseorang untuk mulai usaha merintis usahanya (
Kasmir, 2006), yaitu :
- Faktor keluarga pengusaha
- Sengaja terjun menjadi pengusaha
- Kerja sampingan
- Coba-coba
- Terpaksa
Pengusaha
yang nenulai usaha karena faktor keluarga cukup banyak ditemui di
masyarakat. Artinya bahwa seseorang
memulai usaha karena keluarga mereka
sudah memulai usaha sebelumnya. Orang tua atau saudara pengusaha tersebut
menganjurkan keluarga lainnya untuk membuka usaha sendiri. Keluarga sengaja
mengader anggota keluarga lain untuk
meneruskan usaha atau membuka cabang usaha atau usaha baru.
Dengan
demikian mulai modal , suplai bahan sampae dengan manajemen sang pengusaha
pemula tinggal mengikuti yang sudah ada. Konsekwensi usaha seperti ini banyak
dijumpai di belahan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.
Sengaja terjun menjadi pengusaha, artinya
seseorang dengan sengaja mendirikan usaha. Umumnya mereka belajar dari
kesuksesan orang lain. Mereka mengikuti contoh dari pengusaha yang ada dengan
mencari modal atau bermitra dengan orang lain.
Model seperti ini umumnya dilakukan oleh orang yang bertstatus pegawai,
namun mereka memiliki naluri bisnis. Kesuksesan dan kegagalan orang lain
menjadi tuntunan dan pedoman dalam menjalankan bisnisnya. Kerja sampingan atau
iseng ini biasanya dilakukan oleh mereka yang mencoba menjual atau memproduksi
dalam skala kecil untuk mengisi waktu luang. Akan tetapi , usaha ini ternyata
terus meningkat. Meningkatnya pesanan atau permintaan ini terus direspons
pemilik dengan menambah modal dan kapasita produksinya. Maka kegiatan yang
semula dilakukan dengan iseng memberikan hasil yang luar biasa. Model seperti
ini juga banyak dijumpai di masyarakat. Memulai usaha dengan coba-coba banyak
juga dijumpai di masyarakat. Usaha ini umumnya dilakukan oleh mereka yang belum
memiliki pengalaman, mereka yang kesulitan mencari pekerjaan atau bahkan mereka
yang mengalami pemutusan hubungan kerja. Namun juga tidak sedikit mereka yang
memulai usaha dengan model seperti mencapai sukses. Faktor usaha karena
terpaksa memang jarang terjadi, umumnya mereka yang memulai usaha karena
terpaksa ini umumnya karena kehilangan pekerjaan atau menganggur, sulit
mendapat pekerjaan. Namun karena dilakukan dengan sungguh-sungguh tidak jarang
juga mereka mencapai sukses.
Kiat
sukes berwirausaha. Kualitas wirausaha sebagian besar
bersifat naluriah dan karenanya sulit untuk dibina. Namun melalui tantangan dan dukungan yang sesuai, dan berorientasi
bahwa bekerja keras itu adalah ibadah, maka akan berkembang sebagai wirusaha yang sukses. Pengusaha yang sukses
umumnya telah melewati hal-hal berikut :
Seorang
pengusaha mampu :
- Mengenal potensi diri berarti mengetahui kelemahan maupun potensi yang ada pada dirinya. Potensi perlu dikenal agar potensi tersebut dapat berkembang secara tepat untuk berusaha.
- Berani menghadapi tantangan dalam artian bahwa perlu diciptakan keberanian untuk menghadapi tantangan dan menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang menantang.
- Mental yang tangguh dan berkemauan keras. Mudah menyerah merupakan suatu tindakan yang harus dihindari. Sebaliknya, seorang wirausaha harus memiiki kemauan yang keras untuk menyelesaikan tantangan yang dhadapi
- Disiplin diri. Disiplin diri merupakan Suatu sikap untuk menunjang tercapainya tujuan dengan tepat.
- Hemat dan cermat. Hidup boros merupakan awal dari kehancuran, karena itu seorang wirausaha harus memegang prinsip hemat dan cermat. Yang dimaksud hemat dan cermat adalah kemampuan untuk memanfaatkan keuangan sesuai dengan kebutuhan.
- Keterbukaan, berarti setiap wirausaha harus mau menerima saran dan kritik untuk kemajuan usahanya.
- Wibawa dan jujur. Kewibawaan merupakan suatu alat yang dimiliki oleh seseorang untuk membuat orang lain menghormati suatu keputusan yang diambil. Prinsip kejujuran akan membangun kepercayaan terhadap diri sendiri. Kejujuran akan membuat kepercayaan terhadap usaha yang dihasilkan.
- Percaya diri, berarti suatu tindakan atau sikap dan keyakinan seseorang untuk memulai, melakukan, dan menyelesaikan suatu pekerjaan yang dihadapi. Berpegang pada program agar hasil dapat dicapai dengan optimal maka seorang wirausaha harus menetapkan program yang berkaitan dengan wirausaha. Program merupakan langkah-langkah yang harus ditempuh untuk mencapai sukses.
- Memperhatikan kebutuhan konsumen.
Produk-produk
anda harus dapat mendapatkan jalur penyalurannya ke para konsumen potensial,
tidak sekedar memberikan harga yang lebih murah, namun lebih dari itu anda
harus dapat menumbuhkan motivasi bahwa
para konsumen akan puas dengan harga barang yang dibelinya.
- Menepati janji.
Menepati
janji adalah suatu kewajiban bagi pengusaha,
kaerena ingkar janji akan berdampak pada hilangnya kepercayaan
pelanggan.
- Bertanggung jawab
Pengusaha
harus bertanggungjawab terhadap seluruh kegiatan yang dilakukan dalam bidang
usahanya
- Mengejar prestasi.
Pengusaha
yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik dari prestasi sebelumnya.
Mutu produk, pelayanan yang diberikan, serta kepuasan pelanggan menjadim
perhatian utama. Setiap aktivitas usaha yang dijalankan harus selalu dievaluasi
dan harus lebih baik dari yang sebelumnya.
Pengusaha
yang sukses juga umumnya memiliki dan mengikuti etika atau norma - norna yang
berlaku di masyarakat bisnis. Dalam (Kasmir, 2006: ) Adapun
ketentuan yang diatur dalam etika wirausaha secara umum adalah :
- Sikap dan perilaku pengusaha harus mengikuti norma yang berlaku di suatu Negara atau masyarakat.
- Penampilan yang ditunjukkan para pengusaha harus selalu baik, sopan, terutama dalam menghadapi situasi atau acara-acara tertentu.
- Cara berpakaian pengusaha juga harus sopan dan sesuai dengan tempat dan waktu yang berlaku.
- Cara berbicara seorang pengusaha harus mencerminkan usahanya, sopan, penuh tata karma.
- Gerak gerik pengusaha harus dapat menyenangkan orang lain.
Kesimpulan
Berdasarkan
uraian-uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk mencapai wirausaha
usaha yang sukses perlu membangun diri pribadinya memiliki kepribadian bahwa
bekerja adalah beribadah. Dengan mengamalkan filosofi tersebut, maka akan muncul
sifat-sifat kejujuran, kedisiplinan, komitmen, berorientasi prestasi, kreatif
dan inovasitif, serta dibarengi dengan etika-etika bisnis yang baik dan
menyenangkan, maka pruduk dan pelayanannya akan menghasilkan kepuasan
konsumen/pelannngan. Apabila para konsumen puas, maka mereka tentu kembali
berulang membeli. Kepuasan akan menghasilkan brand image yang baik bagi
mayarakat. Hal ini berarti kesejahateraan masyarakat secara materiil dapat
terpenuhi.
Daftar
Pustaka
Alma Buchari. (
2007). Kewirausahaan. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Effendy
Mochtar Ek. (1986). Membangun Koperasi Di
Madrasah Dan Pondok Pesantren. Penerbit PT Bhatara Karya Aksara. Jakarta.
Handayaningrat
Soewarno. (1990). Penganatar Studi Ilmu
Administrasi Dan Manajemen. Penerbit CV Hajimasagung. Jakarta.
Kasmir. (2006). Kewirausahaan. Penerbit Rajagrafindo
Persada. Jakarta.
Tarmudji Tarsis.
(1996 ). Prinsip-Prinsip Wirausaha. Penerbit Liberty. Yogyakarta.
Susanto Adi. (2002). Kewiraswastaan. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
RELEVANSI PENYAJIAN TANAH BAWAH JALAN
DALAM
NERACA PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR
Dahono Nuswantoro
Staf Badan Pengawas Provinsi Jawa
Timur
Dian A Nuswantara
Dosen Fakultas Ekonomi
UNESA Surabaya
Jl.Ketintang Surabaya
email
; dian-nusw@yahoo.co.id
Abstract
This study is
designed to answer the question about the proper accounting policy for land
under roads (LUR) of East
Java Province. This study is trying to answer the question
whether LUR could be categorized as an asset or not and to answer the question
about the relevancy between LUR as information in the East Java Government
Balanced Sheet with decision making by users. The answer of these two questions
is expected to bring contribution to the government in developing the
accounting policy for land under roads.This study employs qualitative method –
case study using pattern matching as analytical tool to answer the research
questions which was developed by Yin (1996).
This study reveal that, first, land under roads of East Java Government
could not meet the criteria as an asset especially in the measurement criteria.
This study shows that these lands cannot be measured in monetary unit since
Indonesian Government has no guidance about how to measure lands under roads
controlled by government and local government.
Second, information about land under roads in the balance sheet is not
relevance in term of decisions about governmental financial position. However,
this information is relevance in term of completeness of government financial
report. This information is relevance because the government had to
demonstrates its accountability to the public as the main stakeholders.
Keywords: land under roads, Rumija, asset, accounting
policy, governmental accounting.
Pendahuluan
Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan
telah ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia pada 13 Juni 2005. Dengan
PP yang baru ini, praktik akuntansi pemerintahan dapat dikatakan mengalami
sebuah revolusi. Namun dalam perjalanannya mengalami permasalahan-permasalahan.
Salah satu contoh permasalahan riil yang dihadapi
Pemerintah Provinsi Jawa Timur terkait dengan akuntansi tanah adalah masalah
pengakuan dan penyajiannya dalam laporan keuangan sebagaimana temuan Badan
Pemeriksaan Keuangan Republik Indonesia dalam Laporan atas Kepatuhan dalam Kerangka
Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk Tahun
Anggaran 2007 Nomor 13 halaman 63 huruf c dan d yang menyatakan bahwa:
a. Tanah
berupa jalan dan jembatan yang tidak bersertifikat terdiri dari 627 bidang
dengan luas 33.907.809 m2 senilai Rp2.455.217.667.309,00. Sejumlah 543 bidang
tanah dengan luas 26.678.352 senilai Rp2.002.121.712.861 telah dilengkapi
dengan sertifikat asli atas nama pihak lain, copy sertifikat, akte, surat ukur,
dan Petok D. Sementara 84 bidang tanah dengan luas 7.229.457 m2 senilai
Rp453.095.954.448,00 tidak memiliki bukti pendukung;
b. Tanah
yang dimiliki pihak lain dan dicatat di neraca terdiri atas 267 bidang dengan
luas 4.287.843 m2 senilai Rp360.384.693.195,00. Status kepemilikan tanah ini
tidak jelas karena input dalam SIMBADA menggunakan kode kepemilikan pihak lain,
namun nilainya ikut disajikan dalam neraca.
Pemerintah Provinsi Jawa Timur, berdasarkan Keputusan
Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 55 Tahun 2000 tentang Penetapan
Status Ruas-Ruas Jalan sebagai Jalan Provinsi, mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan penyelenggaraan jalan yang ruas-ruasnya telah ditetapkan dalam
keputusan menteri dimaksud. Namun, dengan membandingkan antara data ruas jalan
Provinsi Jawa Timur dengan data mengenai tanah di bawah jalan sebagai dasar
penyusunan laporan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur dapat disimpulkan
adanya suatu ketidakselarasan.
Data tanah di bawah jalan yang disajikan dalam laporan
keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak sama dengan data ruas jalan
Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang ditetapkan dengan keputusan menteri di
atas. Hal ini disebabkan karena dalam menyusun laporan keuangan khususnya yang
berhubungan dengan aset tanah, Pemerintah Provinsi Jawa Timur hanya mengakui
dan menyajikan tanah-tanah yang status kepemilikannya ada pada Pemerintah
Provinsi Jawa Timur (didasarkan pada dokumen sertifikat pemilikan, jual-beli,
dan hibah). Jadi meskipun berdasarkan keputusan menteri di atas dinyatakan
bahwa status ruas jalan berada dalam kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur
namun apabila tidak diikuti dengan adanya suatu proses hibah atas tanah di
bawahnya maka tanah di bawah jalan tersebut tidak diakui sebagai aset Pemerintah
Provinsi Jawa Timur.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang
Standar Akuntansi Pemerintahan pada Pernyataan Nomor 07 – Akuntansi Aset Tetap
pada paragraf 05, entitas pemerintahan, baik pusat maupun daerah, seharusnya
diwajibkan untuk melaporkan tanah di bawah jalan sebagai aktiva/aset tetap. Hal
ini menjadi menarik mengingat menurut beberapa penelitian yang pernah dilakukan
di manca negara, pengungkapan tanah di bawah jalan dan beberapa aset lain
seperti aset bersejarah dan infrastruktur serta restricted assets lainnya dalam laporan keuangan pemerintah masih
menjadi perdebatan dan dinilai tidak relevan (Fox, 1985; Rowles, 1991;
McSweeney, 1999; Hoque, 2004;).
Mempertimbangkan kondisi
tersebut di atas maka penelitian ini ditujukan untuk menjawab beberapa
pertanyaan di bawah ini:
1. Apakah tanah di bawah jalan memenuhi
kriteria aset?
2. Apakah pelaporan akuntansi tanah
di bawah jalan relevan bagi pengguna Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur?
Tinjauan Pustaka
Definisi Tanah di Bawah Jalan
Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan umum, dimana jalan tol tidak
termasuk di dalamnya, yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum yang disediakan
oleh Pemerintah, baik pusat maupun daerah, sebagai salah satu fasilitas umum
bagi masyarakat. Sebagai fasilitas umum yang dibangun oleh Pemerintah, maka
penggunaan dan pengelolaan jalan oleh Pemerintah diatur dalam suatu peraturan
perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan tanah di bawah jalan adalah
ruang milik jalan yang meliputi ruang manfaat jalan dan sejalur tanah tertentu
di luar ruang manfaat jalan dimana ruang milik jalan (right of way) adalah sejalur tanah tertentu di luar ruang manfaat
jalan yang masih menjadi bagian dari ruang milik jalan yang dibatasi oleh tanda
batas ruang milik jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan keluasan
keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran ruang manfaat
jalan pada masa yang akan datang. Berdasarkan UU
No. 38 Tahun 2004 dan PP No. 34 Tahun 2006 Pasal 1, jalan didefinisikan sebagai
prasarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk
bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas,
yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan
tanah dan/atau air, serta di atas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori, dan jalan kabel. Lebih lanjut dalam pasal yang sama disebutkan
bahwa jalan umum adalah jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum.
Wewenang atas Ruas Jalan dan Tanah di Bawahnya
Berdasarkan UU 38/2004 dan PP 34/2006, kewenangan atas ruas jalan dipisahkan sebagai
berikut: 1)Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan nasional dilakukan
secara berkala dengan keputusan Menteri dengan memperhatikan fungsi jalan yang
telah ditetapkan; 2)Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan provinsi
dilakukan dengan keputusan Gubernur yang bersangkutan, dengan memperhatikan
keputusan Menteri; 3)Penetapan status suatu ruas jalan sebagai jalan
kabupaten/kota dilakukan dengan keputusan Bupati/Walikota yang bersangkutan.
Jalan umum dibangun di atas tanah yang dikuasai oleh Negara (PP Nomor 34 Tahun 2006
Pasal 90 Ayat 1). Bidang tanah ruang milik jalan dikuasai oleh penyelenggara jalan dengan suatu hak
tertentu sesuai dengan peraturan perundangundangan (PP 34 Tahun 2006 Pasal 42).
Dari uraian kedua uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kepemilikan tanah di bawah
jalan yang digunakan untuk kepentingan umum ada pada Negara (dalam hal ini
Negara mendelegasikan kewenangannya pada Pemerintah) dimana batas kewenangan
atas ruas jalan dapat dengan jelas dipisahkan antara satu entitas pemerintahan
dengan lainnya yang mana ruas jalan nasional (beserta tanah di bawahnya)
ditentukan dengan keputusan menteri dan ruas milik jalan propinsi serta
kabupaten/kota (beserta tanah di bawahnya) ditentukan oleh Gubernur serta
Bupati/Walikota sebagai kepala wilayah dengan memperhatikan ketentuan dari
menteri terkait.
Aset
Dalam dokumen Guidelines For Capitalisation of Expenditure on Property, Plant, and
Equipment yang dikeluarkan oleh Office
of Financial Management of New South Wales – Australia (hal. 3, June 2006), aset
didefinisikan sebagai sebuah sumber daya yang dikontrol oleh entitas sebagai
akibat dari peristiwa masa lalu dimana manfaat ekonomis masa depan diharapkan
akan mengalir ke dalam entitas tersebut. Untuk entitas yang bersifat nirlaba,
‘manfaat ekonomi masa depan’ memiliki kesamaan arti dengan potensi manfaat,
dimana dalam kerangka ini didiskripsikan sebagai ‘…kapasitas terbatas (langka)
dalam memberikan manfaat kepada entitas yang menggunakan. Dari definisi ini
dapat ditarik beberapa karakteristik aset bagi sebuah entitas, antara lain;
aset adalah sebuah sumber daya, dikontrol oleh entitas, akibat dari peristiwa
lampau, dan memiliki potensi manfaat bagi entitas.
Meskipun terdapat banyak definisi tentang aset, namun,
mengingat penelitian ini lebih ditujukan pada akuntansi pemerintahan yang
berlaku di Pemerintah Republik Indonesia, maka definisi aset yang akan
digunakan pada penelitian ini adalah definisi aset seperti tertuang dalam PP 24
Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dalam Kerangka Konseptual
Akuntansi Pemerintahan paragraf 60 butir a yang menyatakan:
Aset adalah sumber daya ekonomi yang dikuasai dan/atau
dimiliki oleh pemerintah sebagai akibat peristiwa masa lalu dan dari mana
manfaat ekonomi dan/atau sosial di masa depan diharapkan dapat diperoleh, baik
oleh pemerintah maupun masyarakat, serta dapat diukur dalam satuan uang,
termasuk sumber daya nonkeuangan yang diperlukan untuk penyediaan jasa bagi
masyarakat umum dan sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan sejarah
dan budaya.
Mencermati definisi aset menurut PP No. 24 Tahun 2005 ini dapat ditarik
sebuah simpulan yaitu bahwa pada dasarnya definisi aset menurut peraturan ini
tidak berbeda jauh dengan definisi aset yang diacu oleh standar akuntansi di
negara lain. Perbedaan utama hanya pada kejelasan bahwa sumber daya baik
keuangan maupun non keuangan akan diakui sebagai aset ketika sumber daya
tersebut diperlukan oleh pemerintah untuk menjalankan fungsinya sebagai
penyedia jasa bagi masyarakat umum. Selain itu standar akuntansi ini juga
mengakui dengan tegas bahwa sumber-sumber daya yang dipelihara karena alasan
sejarah dan budaya juga diakui sebagai aset pemerintah. Penelitian ini menggunakan
definisi aset sebagaimana dipakai oleh Peraturan Pemerintah ini.
Aliran Manfaat dan Kontrol/Kepemilikan atas Tanah di
Bawah Jalan
Terdapat dua pandangan berbeda
terkait dengan penguasaan tanah di bawah jalan oleh pemerintah maupun mengenai
siapa yang sebenarnya menikmati manfaat (benefit)
dari adanya tanah di bawah jalan. Dalam salah satu artikel di Australian
Accounting Review yang berjudul “Land Under Roads: A Financial Bonanza or Fools
Gold” yang ditulis oleh Barton seperti dikutip oleh Hoque (hal 5, 2004)
mengatakan bahwa terdapat dua alasan mengapa tanah di bawah jalan tidak dapat
dikategorikan sebagai aset. Pertama, pada dasarnya tanah di bawah jalan
merupakan barang publik (public goods)
yang dimiliki oleh negara (crown) dan
manfaat dari adanya tanah tersebut mengalir kepada masyarakat umum dan bukan
kepada pemerintah lokal. Kedua, pemerintah lokal tidak dapat menarik pembayaran
atas pemakaian jalan kepada pemakai jalan atau melarang pihak lain untuk
memakai jalan tersebut.
Pendapat ini bertentangan dengan
pendapat Rowles dan Hutton seperti dikutip oleh Hoque (hal. 5, 2001) yang
menyatakan bahwa terlepas dari apakah kepemilikan tanah di bawah jalan ada pada
Negara (crown) atau pemerintah lokal,
kontrol terhadap pemanfaatan tanah di bawah jalan tetap ada pada pemerintah
lokal melalui peraturan-perundangan yang dibuat oleh pemerintah lokal tersebut.
Dengan kata lain, pemerintah memperbolehkan masyarakat untuk menggunakan jalan
dan menikmati manfaat dari adanya tanah di bawah jalan namun pada kondisi
tertentu pemerintah lokal memiliki kewenangan untuk melarang pihak lain memakai
tanah di bawah jalan tersebut melalui peraturan-perundangan. Selanjutnya,
pemerintah lokal pada dasarnya juga menikmati pemakaian tanah tersebut untuk
mencapai tujuannya.
Pendapat
lain, dikemukakan oleh Public Sector Accounting Group of the Canadian Institute
of Chartered Accountants (CICA) dalam Guide to Accounting for and Reporting
Tangible Capital Assets yang dikeluarkan pada April 2007 (hal. 15), sebagaimana
telah disebutkan di atas menyatakan bahwa konsep kontrol dalam manfaat ekonomi
dalam aset merupakan isu utama dalam menentukan apakah suatu aset layak untuk
dilaporkan dalam laporan keuangan pemerintah lokal. Sebagai contoh, pada
beberapa provinsi, pemerintah lokal tidak memiliki status kepemilikan atas
beberapa jalan ataupun jalan bebas hambatan (Jalan TOL) dalam lingkup
jurisdiksi mereka. Namun demikian, kepemilikan dan kontrol tidaklah sinonimus.
Analogi yang tepat adalah capital-lease
(sewa-beli). Suatu pemerintah lokal mungkin tidak memiliki status kepemilikan
atas suatu aset, namun tetap mengakuinya dalam laporan keuangan karena manfaat
ekonomi atas aset tersebut mengalir masuk ke pemerintah lokal tersebut. Situasi
lain barangkali berkaitan dengan adanya suatu kerjasama antara pemerintah dan
sektor swasta/privat (contoh: Kerjasama Bangun Serah Guna).
Terkait
dengan penelitian ini, terdapat dua kata kunci dari pendapat CICA di atas yang
patut mendapat perhatian. Pertama, adanya aliran manfaat ekonomi mengalir pada pemerintah.
Jadi selama ada aliran manfaat ekonomi yang mengalir ke Pemerintah Provinsi
Jawa Timur dari adanya tanah di bawah jalan, maka tanah tersebut dapat dikategorikan sebagai
aset. Kedua, terminologi kontrol bukan merupakan sinonim dari terminology kepemilikan.
Pemerintah memiliki kontrol dalam arti bahwa ia berwenang untuk mengatur
pemakaian dan pemanfaatan tanah di bawah jalan meskipun tanah tersebut dimiliki
oleh Negara.
Karakter
Relevan dan Reliabel dalam Laporan Keuangan
Dalam Kerangka
Konseptual Standar Akuntansi Pemerintahan yang dituangkan dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 disebutkan bahwa agar informasi akuntansi yang
dituangkan ke dalam laporan keuangan dapat memenuhi tujuan penyusunannya, maka
laporan keuangan harus memenuhi karakteristik kualitatif laporan keuangan yang merupakan ukuran-ukuran
normatif yang perlu diwujudkan, yaitu: relevan, andal, dapat dibandingkan, dan
dapat dipahami.
Menurut PP 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan dinyatakan
bahwa:
”Laporan keuangan bisa dikatakan
relevan apabila informasi yang termuat di dalamnya dapat mempengaruhi keputusan
pengguna dengan membantu mereka mengevaluasi peristiwa masa lalu atau masa
kini. Dengan demikian, informasi laporan keuangan yang relevan dapat dihubungkan
dengan maksud penggunaannya.
Informasi
yang relevan:
a. Memiliki manfaat umpan balik (feed back value)
Informasi memungkinkan pengguna
untuk menegaskan atau mengoreksi ekspektasi mereka di masa lalu.
b. Memiliki
manfaat prediktif (predictive value)
Informasi
dapat membantu pengguna untuk memprediksi masa yang akan datang berdasarkan
hasil masa lalu dan kejadian masa kini.
c. Tepat waktu
Informasi
disajikan tepat waktu sehingga dapat berpengaruh dan berguna dalam pengambilan
keputusan.
d. Lengkap
Informasi akuntansi
keuangan pemerintah disajikan selengkap mungkin, yaitu mencakup semua informasi
akuntansi yang dapat mempengaruhi pengambilan keputusan. Informasi yang
melatarbelakangi setiap butir informasi utama yang termuat dalam laporan
keuangan diungkapkan dengan jelas agar kekeliruan dalam penggunaan informasi
tersebut dapat dicegah”.
Agar sebuah laporan keuangan dapat memenuhi tujuannya maka informasi
tersebut harus memenuhi ukuran-ukuran normatif yang perlu diwujudkan dimana
salah satu ukuran tersebut adalah karakter relevan yang diukur dengan
menggunakan dua dari empat perspektif relevan (seperti dinyatakan dalam SAP)
dalam hubungannya dengan pengambilan keputusan mengenai posisi keuangan, yaitu:
1) memiliki manfaat umpan balik, 2) memiliki manfaat prediktif, dan 3) Lengkap.
Kriteria Tepat Waktu tidak dipakai dalam penilaian “relevan” mengingat
ketepatan waktu sangat berhubungan dengan ketepatan dan kecepatan waktu
penyajian laporan oleh penyusun laporan keuangan.
Menurut Ikatan
Akuntan Indonesia
(IAI):
“Agar
bermanfaat, informasi yang disajikan dalam laporan keuangan harus andal (reliable).
Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari kesalahan material dan bias
dan menyajikan secara tulus atau jujur (faithfully) apa yang seharusnya
disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. Laporan keuangan
tidak bebas dari bias jika; melalui pemilihan atau penyajian informasi, laporan
keuangan dimaksudkan untuk memengaruhi pembuatan suatu keputusan atau kebijakan
untuk tujuan mencapai suatu hasil atau output tertentu”.
Menurut definisi ini
dapat disimpulkan bahwa komponen utama reliabilitas (keandalan) sebuah
informasi dalam laporan keuangan adalah representasi yang jujur, bebas dari
kesalahan material, dan netral.
Dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan pada
Kerangka Konseptual paragraf 35 dinyatakan bahwa:
“Informasi Dalam
laporan keuangan bebas dari pengertian yang menyesatkan dan kesalahan material,
menyajikan setiap fakta secara jujur, serta dapat diverifikasi. Informasi
mungkin relevan, tetapi jika hakikat atau penyajiannya tidak dapat diandalkan
maka penggunaan informasi tersebut secara potensial dapat menyesatkan.
Informasi
yang andal memenuhi karakteristik:
(a)
Penyajian Jujur
Informasi
menggambarkan dengan jujur transaksi serta peristiwa lainnya yang seharusnya
disajikan atau yang secara wajar dapat diharapkan untuk disajikan.
(b)
Dapat Diverifikasi (verifiability)
Informasi
yang disajikan Dalam laporan keuangan dapat diuji, dan apabila pengujian
dilakukan lebih dari sekali oleh pihak yang berbeda, hasilnya tetap menunjukkan
simpulan yang tidak berbeda jauh.
(c)
Netratitas
Informasi diarahkan
pada kebutuhan umum dan tidak berpihak pada kebutuhan pihak tertentu.
Dari uraian di atas
dapat disimpulkan bahwa reliabilitas (keandalan) sebuah informasi dalam laporan
keuangan memiliki peran yang sangat penting dalam pelaporan keuangan
pemerintah. Penelitian ini menggunakan definisi dan karakteristik andal yang
dipergunakan dalam Standar Akuntansi Pemerintahan di atas. Berdasarkan tinjauan pustaka seperti telah dibahas di atas, maka penulis
mengajukan beberapa proposisi penelitian sebagai berikut:
P1 : Tanah
di bawah jalan Provinsi Jawa Timur memenuhi kriteria aset.
P2 : Informasi akuntansi
tanah di bawah jalan dalam neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur relevan bagi
pengguna.
Metode
Penelitian
Strategi Penelitian yang digunakan adalah
strategi penelitian studi kasus. Strategi ini sangat sesuai digunakan pada
penelitian yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa kontemporer dimana
peneliti tidak memiliki kontrol terhadap peristiwa tersebut dan dimana
pertanyaan-pertanyaan penelitian mengarah pada jenis pertanyaan “bagaimana” dan
“mengapa” (Yin, 1996). Lebih lanjut, studi kasus yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus yang bersifat eksplanatoris untuk menjawab
pertanyaan penelitian.
Desain studi kasus
yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain penelitian studi kasus
tunggal. Desain studi kasus tunggal ini, menurut Yin (1996), sangat sesuai
digunakan untuk menguji teori yang telah tersusun dengan baik yang dalam hal
ini teori tersebut adalah akuntansi aset tetap – tanah di bawah jalan.
Unit analisis dalam penelitian ini adalah perlakuan akuntansi bagi tanah di
bawah jalan (Rumija) Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang ruas-ruas jalannya
ditetapkan dalam Keputusan Menteri dan Otonomi Daerah Nomor 55 Tahun 2000.
Data primer dikumpulkan oleh peneliti dari responden secara langsung
sebagaimana teknik yang digunakan oleh Hoque (2004). Wawancara dilakukan dengan
menggunakan pedoman wawancara yang dibuat untuk mengarahkan pertanyaan kepada
responden. Wawancara (interview)
dengan pertanyaan terbuka dipilih sebagai alat untuk menggali pendapat dan
pemahaman dari responden terkait dengan
pertanyaan penelitian.
Teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik
analisa data pattern-matching yang
dilakukan dengan membandingkan empirical
pattern dengan pattern teoritis
yang diprediksikan. Apabila kedua
pola (pattern) tersebut sejalan maka
validitas internal akan tercapai. Dengan kata lain, pola teoritis yang
diprediksikan adalah benar menurut data empiris yang diperoleh. Dengan
terungkapnya kebenaran pola teoritis yang diprediksikan, maka pertanyaan
penelitian akan dapat dijawab.
Dalam menyusun pola empiris data berupa hasil wawancara dengan responden
diolah terlebih dahulu untuk menilai kelayakan jawaban responden. Kelayakan
jawaban yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kesesuaian jawaban dengan
peraturan perundangan yang berlaku serta teori yang ada. Hal ini perlu
dilakukan mengingat adanya keterbatasan pengetahuan dan pemahaman responden
terhadap peraturan-perundangan yang berlaku maupun teori di bidang akuntansi.
Keterbatasan pemahaman ini seringkali disebabkan karena responden hanya
mendalami bidang yang terkait dengan pekerjaan dan tugas pokok fungsinya
sendiri tanpa memperhatikan peraturan lainnya.
Hasil pengolahan data kemudian dikelompokkan ke dalam beberapa kelompok
sesuai dengan pengelompokan dalam predicted-pattern
sehingga menghasilkan empirical-pattern
untuk setiap responden. Masing-masing empirical-pattern
ini kemudian akan dijodohkan dengan predicted-pattern.
Apabila terdapat kesesuaian antara keduanya maka validitas internal akan
tercapai sehingga pernyataan sebagaimana diuraikan dalam predicted-pattern dapat dikatakan sebagai suatu pernyataan yang
benar.
Hasil
dan Pembahasan
Empirical pattern dari kelima responden sebagai berikut:
1. Empirical pattern menurut responden dari
Biro Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi Jawa Timur
(1) Tanah di bawah jalan adalah sumber daya
ekonomi, dengan karakteristik sebagai berikut: (a) langka (scarce), dalam arti bahwa jumlahnya terbatas; (b) memiliki manfaat
(utility), dalam arti memiliki
manfaat ekonomi dan/atau manfaat sosial; (c) dipakai untuk menghasilkan sumber
daya lain, antara lain: retribusi pendapatan.
(2) Tanah di bawah jalan dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, dalam arti bahwa: (a)Pemerintah Provinsi
Jawa Timur bertanggung jawab atas ketersediaan tanah di bawah jalan; (b) Pemerintah Provinsi Jawa Timur
menggunakan tanah di bawah jalan tersebut secara terus menerus sesuai peraturan
perundangan yang berlaku;
(c) Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam kondisi tertentu,
dapat melarang penggunaan tanah di bawah jalan oleh pihak lain.
(3) Nilai
tanah di bawah jalan tidak dapat diukur dalam
satuan uang, dalam arti bahwa: (a)tidak memiliki biaya perolehan historis yang dapat
diukur secara andal; (b)tidak memiliki nilai wajar yang dapat diestimasi secara andal.
(4) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak
terkait dengan pengukuran posisi keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
(5) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur mempengaruhi
pengambilan keputusan selain penilaian posisi keuangan sebagaimana dimaksud
pada poin (4), yaitu terkait dengan akuntabilitas belanja.
2. Empirical pattern menurut responden dari
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur
(1) Tanah di bawah jalan adalah sumber daya
ekonomi, dengan karakteristik sebagai berikut: (a)langka (scarce), dalam arti bahwa jumlahnya terbatas; (b)memiliki manfaat (utility), dalam arti memiliki manfaat
ekonomi dan/atau manfaat sosial bagi Pemerintah Provinsi dan Masyarakat Jawa
Timur; (c) dipakai untuk
menghasilkan sumber daya lain, yaitu: sebagai sarana untuk menghasilkan
pendapatan berupa PKB.
(2) Tanah di bawah jalan dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, dalam arti bahwa: (a)Pemerintah Provinsi
Jawa Timur bertanggung jawab atas ketersediaan tanah di bawah jalan; (b) Pemerintah Provinsi Jawa Timur
menggunakan tanah di bawah jalan tersebut secara terus menerus sesuai peraturan
perundangan yang berlaku; (c) Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam kondisi tertentu,
dapat melarang penggunaan tanah di bawah jalan oleh pihak lain berdasarkan kewenangannya sesuai
peraturan
perundangan.
(3) Nilai
tanah di bawah jalan tidak dapat diukur dalam
satuan uang, dalam arti bahwa: (a) tidak memiliki biaya
perolehan historis yang dapat diukur secara andal; (b) tidak memiliki nilai wajar yang dapat diestimasi secara andal.
(4) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak
terkait dengan pengukuran posisi keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
(5) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur mempengaruhi
pengambilan keputusan selain penilaian posisi keuangan sebagaimana dimaksud
pada poin (4), yaitu terkait dengan penyajian total aset yang dikelola
Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
3. Empirical pattern menurut responden dari
Dinas Perhubungan dan Lalu Lintas Angkutan Jalan Pemerintah Provinsi Jawa Timur
(1) Tanah di bawah jalan adalah sumber daya
ekonomi, dengan karakteristik sebagai berikut: (a) langka (scarce), dalam arti bahwa jumlahnya terbatas; (b) memiliki manfaat
(utility), dalam arti memiliki
manfaat ekonomi dan/atau manfaat sosial bagi Pemerintah Provinsi dan masyarakat
Jawa Timur; (c) dipakai untuk
menghasilkan sumber daya lain, yaitu: sebagai sarana untuk menghasilkan
pendapatan (kas).
(2) Tanah di bawah jalan dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, dalam arti bahwa: (a)Pemerintah Provinsi
Jawa Timur bertanggung jawab atas ketersediaan tanah di bawah jalan; (b) Pemerintah Provinsi Jawa Timur
menggunakan tanah di bawah jalan tersebut secara terus menerus; (c)Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam kondisi tertentu,
dapat menggunakan kewenangannya untuk melarang penggunaan tanah di bawah jalan oleh pihak lain.
(3) Nilai
tanah di bawah jalan tidak dapat diukur dalam
satuan uang, dalam arti bahwa: (a)tidak memiliki biaya perolehan historis yang dapat
diukur secara andal; (b)tidak memiliki nilai wajar yang dapat diestimasi secara andal.
(4) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak
terkait dengan pengukuran posisi keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
(5) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak
mempengaruhi pengambilan keputusan selain penilaian posisi keuangan sebagaimana
dimaksud pada poin (4).
4. Empirical pattern menurut responden dari
Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Provinsi Jawa Timur
(1) Tanah di bawah jalan adalah sumber daya
ekonomi, dengan karakteristik sebagai berikut: (a) langka (scarce), dalam arti bahwa jumlahnya terbatas; (b) memiliki manfaat
(utility), dalam arti memiliki
manfaat ekonomi dan/atau manfaat sosial; (c) dipakai untuk menghasilkan sumber
daya lain, yaitu: sebagai sarana untuk menghasilkan pendapatan.
(2) Tanah di bawah jalan dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, dalam arti bahwa:(a)Pemerintah Provinsi
Jawa Timur bertanggung jawab atas ketersediaan tanah di bawah jalan; (b) Pemerintah Provinsi Jawa Timur
menggunakan tanah di bawah jalan tersebut secara terus menerus dalam rangka
menyediakan pelayanan dan produk bagi masyarakat Jawa Timur; (c)Pemerintah Provinsi Jawa Timur, dalam kondisi tertentu,
dapat melarang penggunaan tanah di bawah jalan oleh pihak lain.
(3) Nilai
tanah di bawah jalan tidak dapat diukur dalam
satuan uang, dalam arti bahwa: (a)tidak memiliki biaya perolehan historis yang dapat
diukur secara andal; (b)tidak memiliki nilai wajar yang dapat diestimasi secara andal.
(4) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak
terkait dengan pengukuran posisi keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
(5) Informasi tanah di bawah jalan
dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak mempengaruhi
pengambilan keputusan selain penilaian posisi keuangan sebagaimana dimaksud
pada poin (4).
5. Empirical pattern menurut responden dari
Inspektorat Provinsi Jawa Timur
(1) Tanah di bawah jalan adalah sumber daya
ekonomi, dengan karakteristik sebagai berikut: (a) langka
(scarce), dalam arti bahwa jumlahnya
terbatas; (b) memiliki manfaat
(utility), dalam arti memiliki
manfaat ekonomi dan/atau manfaat sosial bagi Pemerintah Provinsi dan Masyarakat
Jawa Timur; (c) dipakai untuk
menghasilkan sumber daya lain.
(2) Tanah di bawah jalan dikuasai dan/atau dimiliki oleh Pemerintah Provinsi
Jawa Timur, dalam arti bahwa: (a) Pemerintah Provinsi
Jawa Timur bertanggung jawab atas ketersediaan tanah di bawah jalan; (b) Pemerintah Provinsi Jawa Timur menggunakan
tanah di bawah jalan tersebut secara terus menerus sesuai peraturan perundangan
yang berlaku; (c)Pemerintah Provinsi Jawa Timur menguasai tanah di bawah jalan.
(3) Nilai
tanah di bawah jalan tidak dapat diukur dalam
satuan uang, dalam arti bahwa: (a)tidak memiliki biaya perolehan historis yang dapat
diukur secara andal; (b)tidak memiliki nilai wajar yang dapat diestimasi secara andal.
(4) Informasi tanah di bawah jalan dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak
terkait dengan pengukuran posisi keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
(5) Informasi tanah di bawah jalan
dalam Neraca Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak mempengaruhi
pengambilan keputusan selain penilaian posisi keuangan sebagaimana dimaksud
pada poin (4).
Untuk mempermudah
mekanisme penjodohan pola maka pola teoritis dan pola empiris menurut responden
di atas dirangkum dalam table sebagaimana terlampir (tabel 1).
Sebagaimana telah diuraikan pada
Metodologi Penelitian, validitas internal terkait dengan kebenaran dari suatu
pernyataan (Cohen dan Crabtree, 2008). Validitas internal akan tercapai apabila
ada kesesuaian antara pola konseptual (predicted-pattern)
dengan pola empiris (empirical-pattern)
(Umit, 2005). Mencermati Tabel V.1: Rangkuman Pola Teoritis dan Pola Empiris
Menurut Responden dapat dilihat adanya banyak kesesuaian antara kedua pola
tersebut. Pada karakteristik tanah di bawah jalan (Rumija) sebagai sumber daya
ekonomi, validitas internal terjadi antara pola konseptual dan pola dari
seluruh responden. Hal ini menunjukkan adanya dukungan kebenaran teori yang
menyebutkan bahwa tanah di bawah jalan adalah suatu sumber daya ekonomi.
Validitas
internal juga terjadi pada karakteristik dikuasai dan/atau dimiliki oleh
pemerintah. Hal ini menunjukkan adanya dukungan kebenaran terhadap teori yang
menyatakan bahwa tanah di bawah jalan dikuasai dan/atau dimiliki Pemerintah
Provinsi Jawa Timur. Terkait dengan keterukuran dalam satuan uang, pola
konseptual yang menyatakan bahwa pengukuran atas tanah di bawah jalan Provinsi
Jawa Timur tidak dapat dilakukan juga mendapatkan dukungan dari seluruh pola
empiris dari responden. Dengan kata lain, validitas internal juga terjadi pada
karakteristik ini.
Terkait
dengan pertanyaan penelitian yang kedua, validitas internal yang secara
langsung dapat terlihat pada Tabel V.1 hanya terjadi pada karakteristik
penilaian posisi keuangan. Hal ini menunjukkan adanya dukungan terhadap teori
yang menyebutkan bahwa informasi tanah di bawah jalan tidak terkait dengan
penilaian posisi keuangan entitas pemerintahan.
Hal
yang menarik terjadi pada karakteristik yang terakhir, yaitu pengaruh informasi
tanah di bawah terhadap pengambilan keputusan selain penilaian posisi keuangan.
Berdasarkan analisis hasil wawancara dari responden Dinas Perhubungan dan Lalu
Lintas Jalan Raya, Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga, dan Inspektorat Provinsi
Jawa Timur validitas internal untuk karakteristik dimaksud tidak tercapai.
Penyebab paling potensial adalah karena adanya keterbatasan pengetahuan dari
para responden di bidang akuntansi. Hal tersebut sangatlah wajar apabila
dikaitkan dengan latar belakang pendidikan para responden. Penyebab kedua
sangat terkait dengan tugas pokok dan fungsi responden sehari-hari yang tidak
berhubungan dengan bidang akuntansi dan lebih terkait dengan hal-hal teknis
sesuai dengan Tupoksi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) masing-masing. Kurangnya pemahaman tersebut mangakibatkan
responden kurang bisa melihat atau memahami pertanyaan dengan menggunakan sudut
pandang yang lebih luas diluar cara pandang sehari-hari.
Fenomena
ini juga bisa dipandang sebagai suatu pengungkapan bahwa informasi tanah di
bawah jalan pada dasarnya memang tidak pernah dipakai sebagai salah satu
informasi untuk pengambilan keputusan di ketiga SKPD responden tersebut. Atau
dengan kata lain, jawaban tersebut adalah sangat benar ditinjau dari Tupoksi
SKPD ketiga responden tersebut.
Secara eksplisit,
validitas internal untuk karakteristik ini hanya terjadi pada pola empiris
menurut responden dari Biro Keuangan Sekretariat Daerah dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah Provinsi Jawa Timur. Kesesuaian pola empiris dari kedua
responden tersebut menunjukkan adanya dukungan empiris dari teori yang
menyebutkan bahwa informasi tanah di bawah jalan mempengaruhi pengambilan
keputusan selain penilaian posisi keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Simpulan
Dari
uraian pada pembahasan pada bagian sebelumnya dapat disimpulkan: (1) Tanah di
bawah jalan Pemerintah Provinsi Jawa Timur tidak memenuhi kriteria sebagai aset
pada karakteristik keterukuran dalam satuan uang. Hal ini disebabkan oleh ketiadaan
standar pelaksanaan atau peraturan pemerintah yang mengatur tata cara
pengukuran tanah di bawah jalan yang dimiliki/dikuasai oleh pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah sehingga akan menyebabkan tidak andalnya suatu hasil
pengukuran yang dilakukan. (2) Relevansi dalam hal ini tidak terkait dengan
penilaian posisi keuangan pemerintah namun lebih pada fungsi informasi ini
sebagai bagian perwujudan akuntabilitas pemerintah kepada publik. Relevansi ini
juga terkait dengan penyediaan informasi yang lebih komprehensif dan lengkap
kepada publik sebagai stakeholder
utama pemerintah. Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian oleh
peneliti lain yang menyatakan bahwa informasi tanah di bawah jalan dalam neraca
berfungsi untuk mengungkapkan aset-aset yang dikuasai pemerintah guna
memberikan pelayanan kepada publik dan bukan pada fungsinya untuk melakukan
penilaian posisi keuangan pemerintah (The Chancellor of
the Exchequer, 1998; Gauthier, 2007; Bruce dan Phillips, 2004; Chaney, et. al.;
Chase dan Phillips, 2004; Abdel-Azim, 2001; Hoque, 2004; Bond dan Dent, 1998;
Public Sector Accounting Board, 2008; www.financial-reporting.gov.uk).
Tinjauan Pustaka
Andrew, Anthony dan
Michael Pitt, 2006. Property
depreciation in Government. Journal
of Property Investment & Finance, 2006 Vol. 24, ABI/INFORM
Global.
Anonim, 2005. Guidance Document for Highway Infrastructure Asset
Valuation. County Surveyors Society/TAG Asset Management Working Group, July
2005, London.
Anonim, 2007.
Transportation Cost and Benefit Analysis – Roadway Land
Value. Victoria
Transport Policy Institute (www.vtpi.org), May 2007.
Barton, Allan D, 2000. Accounting For Public Heritage Facilities - Assets
or Liabilities of The Government? Accounting, Auditing & Accountability
Journal, Bradford: 2000,
Vol. 13.
Bond, Sandy ,
dan Peter Dent, 1998. Efficient Management of Public Sector Assets
The Call for Correct Evaluation Criteria and Techniques. Journal of Property Valuation & Investment,
Bradford: 1998.
Vol. 16.
Carlin, Tyrone, 2002, Capital Charging, Australian
CPA, Juli 2002, ABI/INFORM Global.
Chaney, Barbara A,
Dean Michael Mead, dan Kenneth R
Schermann, 2002. The New Governmental Financial Reporting Model: What It Means
For Analyzing Government Financial Condition. The Journal of Government
Financial Management, Spring 2002, ABI/INFORM Global.
Chase, Bruce W dan
Robert H Phillips, 2004. GASB 34 and
Government Financial Condition: An Analytical Toolbox. Government Finance Review, April
2004, ABI/INFORM Global.
Comes, Wendy dan Anne Curtin Riley,
1999. Federal Financial Statements: The Revolution is Here! Journal of Accountancy, Juni 1999,
ABI/INFORM Global.
DHSSPS FINANCE DIRECTORATE, 2004. Capital Accounting Manual 2004/2005.
Department of Health, Social Services & Public Safety - Finance Policy and
Accountability Unit, Financial Management Directorate, Maret 2004.
Diewert, W. Erwin, 2005. Accounting Theory and Alternative Methods for
Asset Valuation. University of British Columbia - Vancouver
- B.C., Canada,
December 2005.
Engstrom, John H dan
Connie Esmond-Kiger, 1997. Different
Formats, Same User Needs: A Comparison of The FASB and GASB College and
University Financial Reporting Model. Accounting Horizons, September 1997, ABI/INFORM Global.
Falls, Lynne Cowe, Ralph Haas, dan Susan
Tighe, 2004. A Comparison of Asset Valuation Methods For Civil Infrastructure.
Paper for Presentation at TheCoordinating Pavement and Maintenance Management
with Asset Management Session Of the 2004 Annual Conference of The
Transportation Association of Canada
Quebec City, Quebec.
Farmer, Graham, 1992.
Capitalising Local Authorities' Assets.
Management Accounting, Feb
1992, ABI/INFORM Global.
Financial Accounting
Standards Board of the Financial Accounting Foundation, 2006. Statement of Financial Accounting Standards No. 157 Fair Value
Measurements. Financial Accounting Series No. 284-A September 2006.
Flood Leonard J,2004. To Capitalize, or Not to Capitalize - That is
the Question. Government
Finance Review, Apr 2004, ABI/INFORM Global.
Fox, Stephenie, 1995.
By Degrees. CA Magazine, Oktober 1995,
ABI/INFORM Global.
HM Treasury, 2005.
Delivering the Benefits of Accruals Accounting for The Whole Public Sector. HM
Treasury, London,
December 2005.
Hoque Zahirul, 2004. Rationality, Accountability Reform and
Accounting for Land Under Roads in an Australian Local Government. Journal of Public Budgeting, Accounting
& Financial Management, Spring 2004, ABI/INFORM Global.
http://d.scribd.com/docs/ww8awyvrdvty0vqwgfx.pdf
- fair value measurement
Ives, Martin, 1987. Accountability and Governmental
Financial Reporting. Journal of
Accountancy, Oktober 1987, ABI/INFORM Global.
Johnson, Laurence E
dan David R Bean, 1999. GASB Statement
No. 34: The Dawn of a New Governmental Financial Reporting Model. The CPA Journal; Desember
1999, ABI/INFORM Global.
McGladrey dan Pullen, 2008. A Review of the Fair Value Hierarchy
under Statement No. 157 April 15, 2008. LLP Insights.
Michael Fickes, 2002. Weighing in on Infrastructure
Valuation, The American City
& County, Juni 2002, ABI/INFORM Global.
Montondon, Lucille G
dan Treba Lilley, 2005. How Readable
are Those Financial Reports? The Journal of Government Financial
Management; Spring 2005; ABI/INFORM Global.
New South Wales Treasury, 2006. Guidelines
for Capitalisation of Expenditure on Property, Plant and Equipment. Office of Financial Management - Policy &
Guidelines Paper.
New South Wales Treasury, 2007. Accounting Policy: Valuation of Physical Non-Current
Assets at Fair Value. Office of Financial Management - Policy & Guidelines
Paper.
Nortwest Territories, 1999. Accounting Policy for Government Departments and Public Agencies:
Directive No. 602. Financial Administration Manual, May 1999.
Pallot, June, 1992. Accounting, Auditing & Accountability
Journal. Vol. 5, ABI/INFORM Global.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2005 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia
Nomor 34 Tahun 2006.
Peter McSweeney,
1999. Reporting on Recreation Assets: A
Victorian Perspective. Australian
CPA, Juli 1999, ABI/INFORM Global.
Powerco, 2002. Review of Asset Valuation Methodologies. Commerce
Commission’s Discussion Paper on Electricity Lines Businesses’ System Fixed
Assets, Nopember 2002.
Robbins, Walter dan
Richard Houston. GASB 34's - new
infrastructure asset reporting requirements: Are you ready? The Journal of Government Financial
Management, Summer 2002, ABI/INFORM Global.
Rowles, Tom, 1991. Infrastructure and Heritage Asset Accounting.
Australian Accountant, Juli
1991, ABI/INFORM Global.
Sharp, Florence C, Frances H Carpenter, dan Robert F Sharp, 1998. Popular Financial Reports for Citizens. The CPA Journal, Maret 1998,
ABI/INFORM Global.
State of California, 2003.
Accounting Standards and Procedures for Counties. State Controller’s Office
Division of Accounting and Reporting,
May 2003.
The Asset Valuation and Capital Charging Group. Guidance On Asset
Valuation. Skotlandia.
Therase Keating. Wealth of The Nation. Australian CPA, Juni 2001, ABI/INFORM
Global.
Tom Maze, 2000. Complying with GASB 34: How to Value Major Capital
Assets. Technology News, Maret-April 2000, State of Iowa, USA.
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Walker, David M, 2004. Truth and Transparency: The Federal
Government's Financial Condition and Fiscal Outlook. Journal of Accountancy, Apr 2004,
ABI/INFORM Global.
William T, Wrege dan Marquette, R. Penny, 1988. Measurement Focus and Basis of Accounting
(GASB). The CPA Journal, Desember
1988, ABI/INFORM Global.
Yin, Robert K., 1996.
Studi Kasus – Desain dan Metode. Rajawali Pers, Jakarta.